Pagi yang sibuk di Mesjid Agung Al Azhar. Semua orang sedang sibuk mempersiapkan sebuah acara pernikahan. Sebuah meja besar dengan taplak putih berenda dikelilingi dengan bangku-bangku berlapis kain satin putih dengan pita besar sudah disiapkan. Calon pengantin sudah hadir, demikian pula dengan wali, para saksi, keluarga pengantin dan tamu undangan.
"Alhamdulillah, Pak Penghulu sudah datang", kata seorang keluarga pengantin wanita. Pak Penghulu langsung dipersilakan duduk didepan calon pengantin lelaki. Acara akad nikahpun langsung dimulai. Lelaki yang akan mengucap ijab kabul dengan ayahku itu adalah Hanan, calon suamiku. Ya, sebentar lagi lelaki itu akan resmi dan sah menjadi suamiku, secara agama dan hukum negara.
Di ruangan lain, aku menatap layar dengan berdebar-debar. Menyaksikan ijab kabul antara Hanan dengan ayahku. Kudengar suaranya sangat lantang menyambut ijab dari ayahku dengan satu tarikan nafas. "Saya terima nikah dan kawinnya Anindya binti Suherman dengan mas kawinnya berupa gelang emas seberat 20 gram dibayar tunai." Pak Penghulu dan para saksi menyatakan ijab kabul itu sudah sah. Alhamdulillah, aku mengucap syukur yang tiada terhingga kepada Allah.
Suatu karunia Allah yang harus berulang kali kusyukuri jika akhirnya aku bisa menikah dengan Hanan mengingat perjalanan panjang yang telah kami lalui. Aku sudah berhubungan dekat dengan Hanan selama 5 tahun, sejak aku baru mulai kuliah. Usia Hanan 3 tahun diatasku. Setamat SMA di Jakarta, aku kuliah di Jogja sedangkan Hanan di Jakarta. Kami berhubungan jarak jauh selama itu dan hanya bertemu jika liburan semester. Aku yang pulang ke rumahku di Jakarta, atau Hanan yang datang ke Jogja.
Hubungan kami tidak selalu berjalan dengan lancar, seringkali diwarnai dengan pertengkaran. Karena selalu berjauhan, kami seringkali saling memcemburui. Sehebat apapun pertengkaran kami, selalu bisa kami selesaikan. Setelah selesai kuliah, Hanan bekerja di sebuah perusahaan di Jakarta.
Menjelang akhir kuliah, saat sedang menyelesaikan tugas akhir, badai datang menerpa hubungan kami. Semua karena salahku. Aku menjalin hubungan dekat dengan seorang teman kuliah. Sebenarnya aku tidak bermaksud menghianati Hanan. Saat itu aku sedang mengikuti acara mendaki gunung Merapi yang diadakan oleh kelompok pemcinta alam di kampusku.
Pendakian ke gunung itu adalah yang pertama buatku. Suatu pendakian besar dengan banyak sekali peserta, termasuk peserta-peserta baru. Karena itu untuk pertama kalinya aku mendaki gunung, maka di belakang setiap pendaki pemula harus ada seorang pendaki senior. Pendaki senior yang ditugasksn untuk membantuku adalah Danar, kakak kelas setahun diatasku. Saat mendaki aku melakukannya dengan lancar sampai ke puncak Merapi. Ketika turun, kakiku terantuk batu besar dengan sangat keras sehingga jalanku menjadi pincang.
Aku berjalan turun dari puncak Merapi dengan susah payah. Danar yang terus berada di belakangku mengawasi jalanku dengan pandangan khawatir. Aku terus memaksa berjalan sampai kakiku tidak kuat lagi. Tubuhku limbung hampir jatuh, Danar yang terus mengawasiku dengan sigap menangkap tubuhku agar tidak benar-benar terjatuh.
Ia menyuruhku berhenti sebentar sambil melihat keadaan kakiku yang sakit. Ternyata kakiku semakin sakit dan tak kuat lagi berjalan sendiri. Akuoun melanjutkan perjalanan turun dengan berjalan di belakang Danar. Kedua tanganku sepenuhnya bertumpu ke bahu Danar, begitu seterusnya sampai ke bawah. Kesabaran dan daya tahan Da nar benar-benar patut diacungi jempol, ia kuat menahan seluruh berat badanku selama hampir 3 jam menuruni gunung Merapi, tanpa mengeluh sepatah katapun.
Sepulang dari mendaki gunung itu, hubungan kami menjadi dekat. Kami setiap hari menghabiskan waktu berdua. Hanya seminggu setelah dekat dengan Danar, aku sudah merasa sangat bersalah dan tidak mau melanjutkan hubungan terlarang itu. Kujelaskan kepada Danar bahwa aku telah mempunyai kekasih dan ingin mengakhiri hubungan dengannya.
Selesai urusan dengan Danar, aku meminta maaf kepada Hanan sambil mengakui semua kesalahanku. Tentu saja ia sangat marah dan tidak bisa menerima. Kami bertengkar hebat. Aku menyadari semua kesalahanku dan meminta maaf berkali-kali. Hanan tetap menolak dan tidak mau lagi mengangkat telepon ataupun menjawab pesan dariku. Tiga bulan kami melakukan perang dingin dan tidak saling menghubungi. Karena sudah habis usahaku untuk menghubunginya, maka aku terpaksa diam dan pasrah. Hubungan kami sudah berada diujung tanduk.
Untuk melupakan sedih hatiku, aku terus belajar dan menyelesaikan tugas akhirku di jurusan psikologi. Dengan terus belajar dan menyusun tugas akhir mati-matian, aku bisa menyelesaikannya dalam dua bulan. Semua teman kuliahku memuji, mereka tidak tahu bahwa itu adalah satu-satunya pelarian dari sedih hatiku karena tidak bisa lagi berhubungan dengan Hanan.
Saat lulus sebagai sarjana psikologi, aku mencoba mengabari Hanan dan berharap ia mau datang ke acara wisudaku. Usahaku sia-sia, ia benar,- benar tidak mau datang. Wisudaku hanya didampingi ayah, ibu dan sahabat-sahabat dekatku di kampus. Aku tersenyum palsu di hadapan semua orang, berfoto-foto dengan ayah, ibu dan teman-teman. Berusaha terlihat ceria padahal hatiku menangis berdarah-darah.
Kembali ke Jakarta, aku tidak bisa menahan diri. Kucoba menelepon Hanan, berharap ada keajaiban.
"Assalammualaikum, Hanan. Bagaimana kabarmu ? aku membuka percakapan.
"Waalaikum salam. Kabarku baik", ia menjawab dengan datar.
"Aku sudah selesai wisuda minggu lalu dan akan mencoba mencari pekerjaan disini." Aku mencoba berbasa-basi. Hanan hanya menjawab dengan malas sekedarnya saja, mungkin tidak enak untuk menutup telepon. Setelah terus berbicara dan hanya dijawab Hanan hanya dengan oh...oh...kuputuskan untuk bertanya tentang hubungan kami. Tak sanggup lagi aku menahannya.
"Hanan, apakah kau sibuk sekali dengan pekerjaanmu sehingga tidak pernah menghubungiku ?" aku bertanya.
"Menghubungimu ? Buat apa ? bukankah diantara kita sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi ?" tanya Hanan. Mendengar ucapannya, seperti ada yang meninju perutku dan menaburkan garam di luka hatiku. Rasanya sangat perih. Kukuat-kuatkan hatiku sambil menahan tangis. Kugagah-gagahkan suaraku.
"Hanan, apakah kita tidak bisa bicara baik-baik ? Memang aku pernah khilaf dan berbuat salah, tapi itu kan sudah lama berlalu. Dulu kau pernah bilang bahwa kau sudah memaafkanku. Apakah kau lupa ?" tanyaku hampir putus asa. Mencoba segala usaha agar ia mau melanjutkan hubungan denganku, paling tidak agar ia tidak menutup telepon.
"Aku tidak lupa. Aku memang sudah memaafkanmu tetapii tidak bisa lagi percaya padamu dan melanjutkan hubungan kita. Sudah kupikirkan berulang kali dan kuputuskan untuk mengakhiri hubungan kita. Tidak ada lagi yang perlu dibicarakan." Ia mengakhiri percakapan. Jadi beginilah akhirnya. Tidak kusangka hubungan singkatku dengan Danar bisa menghancurkan segalanya.
Sebagai orang yang selalu memegang teguh setiap janji dan menghargai sebuah komitmen, ternyata Hanan tidak pernah bisa memaafkanku. Aku masuk ke dalam kamar dan menumpahkan tangisku yang sejak tadi kutahan.
Ternyata sulit menerima sebuah kenyataan. Rupanya beginilah rasanya patah hati. Aku mengirim pesan yang panjang kepada Hanan. Menceritakan semua kesedihanku dan meminta maaf karena pernah menyakitinya begitu dalam.
Setelah beberapa hari yang suram dan berember-ember air mata, kuputuskan untuk mengakhiri masa berkabungku. Mungkin Allah tidak mentakdirkan Hanan menjadi jodohku sehingga tiada lagi jalan bagi kami. Aku mulai mencari pekerjaan dan banyak mengirim surat lamaran. Tidak penting benar sesuai dengan gelar sarjanaku, yang penting harus bekerja untuk melupakan Hanan. Ketika ada tawaran sebagai petugas front office di sebuah hotel berbintang lima, aku langsung menerimanya.
Satu tahun berlalu. Aku sudah pindah ke bagian HRD di hotel itu setelah berkali-kali membuat permohonan. Sepulang kerja, aku ikut berbagai kursus, hanya untuk menyibukkan diri. Ternyata kesibukan kerja dan kursus yang padat belum berhasil menghapus luka hatiku. Di malam-malam yang sepi aku masih sering mengingat Hanan. Seperti bayangan, ia tidak bisa lepas dariku.
Suatu malam, ponselku berbunyi. Kulihat nama si penelpon. Jantungku seakan meloncat keluar. "Hah? Hanan ? ternyata hanya dengan membaca namanya hatiku masih bergetar hebat. Segera kuterima.
"Assalammualaikum, Anin. Apa kabar ?" Hanan memulai percakapan. Susah payah aku meredakan debar di jantungku mendengar suaranya. Berusaha menjawab sewajarnya agar tidak terdengar terlalu gembira.
"A...aku baik-baik saja." jawabku. Hati kecilku berharap ia menelponku untuk mengajak bertemu dan melanjutkan hubungan kembali. Ternyata dugaanku salah. Ia hanya iseng menelpon dan berbasa-basi menanyakan kegiatanku. Di akhir pembicaraan, aku tidak tahan lagi. Aku harus bicara.
"Hanan, aku mau tanya. Sebenarnya buat apa kau menelponku ?" tanyaku
"Oh....Aku hanya ingin tahu kabarmu saja", jawab Hanan.
"Hanan, kau tahu ? Dengan menelponku, kau telah membuka luka lama. Bukankah kau tahu aku tidak ikhlas kau putuskan ? Mendengar suaramu, aku menjadi sangat sedih karena tidak mungkin bisa bersamamu lagi. Kalau memang benar tudak ada lagi kemungkinan bagi kita untuk bersama, sebaiknya kau tidak usah menelponku lagi. Biarkanlah aku mencoba menjalani hidupku sendiri dan jangan lagi ganggu aku dengan telepon tidak pentingmu".
Kututup telepon tanpa menunggu jawabannya. Aku tak tahan lagi. Aku berlari ke kamar dan menumpahkan seluruh air mata. Persetan dengan Hanan dan telepon basa-basinya ,! Buat apa ? Bukankah aku juga tidak pernah mengganggu hidupnya lagi ? Tidak pernah juga mengajak berbaikan dan mengemis cintanya lagi.
Keesokan harinya jam enam pagi, Hanan datang ke rumahku setelah setahun tidak pernah menginjakkan kakinya. Wajahnya muram dan matanya merah. Ia langsung duduk di teras rumahku dan bicara tanpa basa-basi.
"Anin. Aku bekum tidur sejak kau menutup telepon semalam. Pikiranku tidak bisa lepas darimu. Mendengar suaramu yang basah diselingi tangis, hatiku ikut sakit. Maafkan aku, Anin. Maafkan aku yang bodoh dan buta selama ini menyia-nyiakan cintamu. Anin, maukah kau memberiku kesempatan kedua ? Bukan sebagai kekasihmu tapi sebagai suamimu ?
Hah ? Aku tetkejut. Apakah aku tidak salah dengar ? Rasanya tidak mungkin. Semua ini terlalu indah untuk menjadi nyata.
Jadi disinilah aku sekarang. Di hari pernikahanku dengan Hanan. Impian yang telah lama hilang ternyata masih menjadi milikku. Setelah akad nikah tadi, kami sudah resmi menjadi suami isteri. Akad nikah langsung disambung dengan pesta petkawinan yang melelahkan. Setelah semuanys selesai, akhirnya bisa juga kami beristirahat.
Pukul 12 malam. Aku sudah mandi dan memakai pakaian.tidur. Hanan masih di kamar mandi. Aku duduk di kamar pengantin dengan seprai dari satin bertabur bunga melati. Hatiku sangat bahagia. Berulang kali kuucapkan syukur kepada Allah yang telah mempertemukan aku kembali dengan Hanan.
Tidak lama kemudian, Hanan keluar dari kamar mandi dan duduk disampingku. Ia kelihatan segar dengan celana pendek dan kaus serta rambut ikalnya yang separuh basah. Aroma tubuhnya sungguh menggoda. Ia mematikan lampu dan meraihku ke dalam pelukannya. Seluruh malam itu menjadi milik kami berdua.
Komentar
Posting Komentar