Apakah kenangan atau saat-saat indah yang telah berlalu dalam hidup kita selalu manis untuk dikenang ? Ternyata tidak. Banyak saat-saat indah yang kita kenang dengan getir bahkan perih karena hubungan kita dengan seseorang di masa lalu itu tidak berakhir sesuai dengan keinginan.
Solo, 1982 - 1988
Ruang kuliah di fakultas hukum berisik sekali seperti pasar. Selalu begitu kalau belum ada dosen. Kuliah bahasa Belanda seharusnya sudah dimulai sejak jam 9 tadi, tetapi sudah 15 menit berlalu tidak ada tanda- tanda pak Sugondo akan datang. Tidak biasanya beliau tidak masuk, terlambat saja tidak pernah. Tia menyikut sohibnya, Dina. "Din, kabur yuk ! kelihatannya pak Gondo nggak bakalan datang deh !"
"Nanti dulu. Tunggu sebentar lagi. Kasihan pak Gondo kalau kita pulang", jawab Dina. Tia tidak menanggapi. Bukan Tia namanya kalau tidak berhasil mengajak Dina pulang. Dia bahkan berhasil mempengaruhi beberapa teman yang lain. Mereka turun dari lantai tiga ke tempat parkir motor dengan terburu-buru.
Dina sudah duduk di motor, siap memboncengi Tia ketika pak Gondo yang baru datang melihat mereka. Pak Gondo menyuruh mereka segera masuk ke ruang kuliah. Tia terpaksa mengikuti dengan wajah kesal. "Huh, kenapa sih musti masuk lagi ? sudah enak- enak pulang juga," omel Tia
"Iya. Lagian siapa sih yang kepingin belajar bahasa Belanda ?" sekarang Dina ikut mengomel.
"Katanya karena buku-buku hukum banyak istilah bahasa Belandanya. Lah, kalau memang begitu, kenapa yang kita pelajari bahasa Belandanya bunga itu indah sama saya pergi ke pasar ? Kapan ketemu istilah hukumnya ?" tambah Tia.
Apapun pendapat mereka, tetap saja pak Gondo yang menang. Setengah jam berikutnya mereka terpaksa mendengarkan pelajaran dari pak Gondo yang isinya tidak jauh-jauh dari "de bloem is mooi (bunga itu indah). Mereka duduk di bangku paling belakang, apalagi maksudnya kalau bukan mau mengobrol. Dina cerita tentang anak ekonomi yang belakangan ini sedang mendekatinya dan Tia cerita tetang Anjasnya. Jadilah selama setengah jam mereka hanya mencatat pelajaran tanpa mengerti apa-apa.
Tia sudah berhubungan dekat dengan Anjas sejak awal ia kuliah di Solo tahun 1982, itu juga kalau cinta monyet mereka dulu tidak dihitung. Ya, waktu Tia masih kelas 2 SMP dan Anjas kelas 2 SMA, mereka bertetangga dan orang tua mereka juga berteman dekat.
Setiap berangkat sekolah, Anjas selalu lewat di depan rumah Tia. Tia yang sudah menunggu langsung keluar dari rumah. Ia pura-pura tidak tahu lalu berjalan di belakang Anjas. Malu dong kalau bilang terus terang mau berangkat sama-sama. Mereka akan naik bis kota yang sama menuju sekolah. Begitu terus setiap pagi. Buat Tia yang baru pertama punya perasaan suka terhadap seorang cowok, begitu juga sudah lebih dari cukup
Kalau di rumah, mereka juga suka mengobrol tapi selalu bersama teman-teman lain. Karena Anjas ternyata jago menggambar, Tia pernah dibuatkan gambar untuk sampul karya tulis tugas sekolahnya. Gambarnya bagus sekali, apalagi di mata Tia yang sedang naksir berat sama tukang gambarnya. Tapi cinta monyet mereka ya cuma begitu-begitu saja. Jarang ada tatapan mesra, percakapan romantis, apalagi pegang-pegangan tangan. Momen mereka bisa berdua saja tanpa diganggu teman-teman lain ya cuma waktu berangkat sekolah itu.
Begitu terus sampai Anjas lulus SMA dan pindah rumah. Hubungan merekapun benar-benar terputus. Saat itu belum ada telepon genggam apalagi internet. Telepon rumah saja mereka belum punya.
Mereka bertemu lagi waktu Tia sudah lulus SMA dan Anjas sedang menjalani tahun ketiganya di fakultas ekonomi di salah satu universitas di Jakarta. Kebetulan saja ibunya Anjas datang ke rumah Tia karena kangen ingin bertemu dengan ibunya Tia, kan mereka dulu berteman dekat. Anjas yang saat itu mengantar ibunya akhirnya mengobrol seru dengan Tia di teras rumah. Iya dong, masa mau gabung dengan dua ibu-ibu di ruang tamu ?
Setelah saling bertanya kabar dan apa kegiatan masing-masing, pembicaraan mereka terus berjalan dengan sangat lancar dan seru. Rasanya semua cerita mereka selama tiga tahun tidak bertemu akan dihabiskan dalam semalam. Ketika dua jam kemudia Anjas diajak pulang oleh ibunya, rasanya ada yang hilang di hati mereka.
Hari-hari berikutnya berlaku dengan sangat indah buat Tia dan Anjas. Lebih indah lagi, mereka berdua sedang jomblo. Bedanya dengan yang dulu, Anjas sudah kelihatan lebih keren dengan tubuh tinggi dan kumis tipisnya dan Tia juga lebih menarik dengan mata bulat dan rambut panjangnya. Mereka juga sudah lebih berani menunjukkan perasaan suka satu sama lain. Sayang Tia harus segera berangkat kuliah ke Solo setelah lulus tes di fakultas hukum salah satu universitas negeri.
Hubungan mereka berlanjut dengan surat-menyurat. Mereka bertemu hanya saat Tia liburan di Jakarta. Sesekali Anjas datang ke Solo untuk beberapa hari. Mereka akan mengelilingi kota Solo dengan becak atau motor pinjaman dan menikmati kuliner lezat di seluruh sudut kota. Malam hari mereka pindah ke bioskop yang memutar film-film terbaru.
Sampai Anjas lulus kuliah dan mendapat pekerjaan sebagai PNS di kota Malang, hubungan mereka masih berlanjut. Apakah selalu indah dan baik-baik saja ? Tentu tidak. Seperti hubungan LDR lainnya, selalu saja ada masalah. Mulai dari Anjas yang terlalu lama membalas surat sampai Tia yang suka bertindak semaunya.
Tia paling tahu kalau Anjas tidak suka dia ikut kegiatan mendaki gunung, memanjat tebing atau bela diri Merpati Putih. Berkali-kali Anjas melarang, berkali-kali pula Tia nekat tetap ikut. Menurut Tia tidak ada yang salah dengan semua kegiatan itu. Memangnya Anjas tidak tahu kalau semua itu bagian dari olah raga ? Memangnya dia mau disuruh ikut kursus membuat kue atau merajut ?
Itu belum seberapa. Masalah yang lebih besar adalah kalau salah satu dari mereka sempat berhubungan dekat dengan orang lain selama mereka berjauhan. Nah, kalau yang ini mereka bisa perang berminggu-minggu. Apapun masalahnya, biasanya selalu bisa diselesaikan sebelum mereka bertemu. Mereka sepakat untuk menuntaskan rindu yang sudah menggunung tanpa diganggu oleh masalah apapun.
Sebulan lagi tugas akhir Tia akan selesai dan ia akan menghadapi ujian sidang akhirnya. Ia sudah.punya rencana, setelah lulus nanti akan pergi ke Malang. Anjas akan mengajaknya jalan-jalan kemana saja yang ia inginkan dan menikmati bakso Malang yang paling enak. Mereka juga akan ke Batu melihat kebun apel dan ke tempat-tempat wisata lainnya.
Malam itu Tia sedang duduk sendiri di kamar kosnya. Ia hanya sendirian menempati kamar itu setelah teman sekamarnya, Aan lulus dari kuliahnya dan pulang ke Jakarta beberapa bulan yang lalu. Rasanya ia ingin sekali bertemu dengan Anjas. Sejak Anjas bekerja di Malang, mereka lebih jarang bertemu. Setiap Tia liburan, Anjas tidak selalu bisa mendapat cuti dari kantornya. Saat membayangkan Anjas, Tia merasa hatinya menjadi hangat. Terbayang saat-saat terindah yang pernah mereka lalui.
Dua tahun yang lalu, jam lima sore di terminal bis Pulo Gadung. Mereka sedang menunggu bis yang akan dinaiki Tia ke Solo. Mereka berlari-lari karena takut terlambat. Begitu masuk ke terminal, Anjas langsung berkata :
"Aduh, Tia. Untung kita nggak terlambat ya ! Bisnya belum berangkat. Capek juga rasanya."
"Iya, aku lari terus sampai berkeringat, kata Tia. Anjas menyodorkan air mineral. "Minum dulu, Tia. Kamu pasti haus.'
"Terima kasih. Kenapa sih kita selalu buru-buru begini ? Kenapa kamu nggak bawa mobil saja kalau mengantarku ke terminal ? Naik bis umum begini kan kita bisa terlambat," omel Tia.
"Aku nggak mau, Tia. Kalau mengantarmu ke terminal dengan mobil, aku nggak tahan. Waktu pulangnya saat menyetir sendirian akan terasa sekali kalau kamu sudah pergi jauh dan tidak duduk lagi disampingku. Kalau naik bis umum kan aku tidak sendiri, banyak penumpang yang lain," jawab Anjas. Nyess......Tia merasa hatinya seoerti diguyur dengan seember air es.
Anjas memang begitu, dia tidak pandai mengutarakan isi hatinya dengan kata-kata indah nan romantis. Ucapannya yang sederhana dan apa adanya itu seringkali membuat Tia meleleh. Itu cuma salah satunya. Ada lagi yang lebih meleleh.
Awal tahun lalu, Tia mendapat telepon dari sebuah Bank di Solo. Saat itu orang mengirimkan uang hanya bisa melalui Bank atau wesel pos. Antar Bank belum terhubung secara online dan juga belum ada mesin ATM. Pegawai Bank akan memberi tahu jika uang kiriman sudah sampai.
Tia merasa heran. Apakah pegawai Bank yang menelponnya tadi tidak salah ? Ibu dan ayahnya selalu mengirim uang pada tanggal yang sama setiap bulan dan saat itu belum waktunya. Ia pergi ke Bank dengan penasaran. Siapa yang mengiriminya uang ? Sampai disana rasa penasarannya terjawab. Ternyata Anjas yang mengiriminya sejumlah uang.
Tia merasa kesal. Apa maksud Anjas diam-diam mengiriminya uang ? Sudah begitu, membuatnya susah pula. Karena Anjas tidak mencantumkan nomor mahasiswanya (mana dia tahu ?) yang merupakan salah satu persyaratan, Tia harus menghadap dulu ke manajer di Bank itu baru bisa mengambil uangnya.
Sepulang dari Bank, Tia langsung menulis surat untuk Anjas. Sebenarnya dia ingin langsung menelepon saja, tapi saat itu biaya telepon antar kota (interlokal) masih sangat mahal sehingga diurungkannya niatnya. Ia menulis dengan hati kesal dan marah. Ia menanyakan pada Anjas apa maksudnya mengirim uang untuk dirinya. Apakah Anjas menilai dirinya begitu rendah sehingga mau saja menerima uang dari seorang laki-laki ?
Kalaupun Tia benar-benar butuh uang, ia tidak akan mau memintanya pada Anjas. Ia juga mengatakan bahwa Anjas telah salah menilai dirinya selama ini. Ia bukanlah perempuan yang bisa dibayar. Setelah menulis dengan panjang lebar, Tia menutup suratnya dengan mengatakan bahwa ia akan segera mengembalikan uang itu. Surat itu dikirimnya dengan pos kilat khusus, tidak peduli biayanya mahal.
Dua hari kemudian, Tia menerima balasan dari Anjas, juga dengan pos kilat khusus. Tia langsung membawa masuk surat itu ke dalam kamar dan langsung menyobek amplopnya. Ia mulai membaca isi suratnya.
Jakarta, 10 Juni 1987
Assalammualaikum wr. wb,
Tia sayang,
Aku baru menerima suratmu dan langsung membalasnya. Sebenarnya aku ingin sekali langsung meneleponmu tapi takut kau masih marah dan tidak mau menerima telepon dariku.
Tia, aku sungguh minta maaf. Tidak kusangka kau salah terima atas apa yang kulakukan. Aku melakukannya tanpa maksud apa-apa, apalagi seperti yang kau tuduhkan. Aku hanya berpikir karena kau tinggal jauh dari orang tua, barangkali kau punya banyak kebutuhan. Mungkin kirimanku yang tidak seberapa itu bisa sedikit membantu.
Tidak apa-apa jika kau tidak mau menerimanya. Tapi tolong, berikan saja uang itu kepada siapa saja. Jangan kau kembalikan padaku karena itu sangat menyakitkan. Aku sungguh hanya bermaksud untuk membantumu selagi aku bisa. Aku menghargai sikapmu dan juga prinsipmu. Aku juga merasa sangat bersyukur Allah telah memberikan padaku seorang calon istri sebaik kamu.
Semoga kau sudah tidak marah lagi padaku karena jika kau masih marah aku akan semakin menyesal.
Salam sayang,
Anjas
Tia membaca surat itu berulang kali. Hatinya sedih dan terharu. Ia telah membuat Anjas begitu sedih. Setelah Tia menuduhnya dengan begitu jahat, ia malah membalasnya dengan surat yang begitu manis. Dengan segala ketidak romantisnya, Anjas sering membuatnya merasa begitu berarti. Seperti saat ia ke Malang bulan September tahun lalu.
Tia mendapat undangan dari kakak teman kuliahnya, Nana yang akan menikah di Malang. Ia bermaksud untuk mengajak Anjas menghadiri acara perkawinan itu. Karena saat itu baru pertama kalinya Tia ke Malang, Anjas ingin mengajaknya berkenalan dengan bapak dan ibu Bandi, pemilik dari rumah kos yang ditempatinya.
Menurut cerita Anjas, bapak dan ibu Bandi yang sudah berusia lanjut itu sangat baik. Mereka memperlakukan semua anak-anak kosnya seperti anak sendiri. Anjas mengajak Tia masuk ke ruang kelauarga. Bapak dan ibu Bandi sedang menonton televisi. Bu Bandi langsung berdiri. Ia berkata : "Ah, ada Nak Anjas. Silakan duduk, Nak. Pak, coba lihat, siapa yang diajak Nak Anjas ini." Tia langsung mencium tangan bapak dan ibu Bandi.
Pak Bandi tersenyum lebar kepada Anjas dan Tia. Ia juga berkata kepada Tia, "Silakan duduk, Nak. Ini teman Nak Anjas ya ?" Anjas menjawab sambil tersenyum, "Pak, Bu.....ini Tia. Tia ini.....calon isteri saya. Tia menoleh dan melihat wajah Anjas yang serba salah. Sungguh ucapan yang sangat manis dari seorang Anjas. Lebih indah didengar daripada seribu pernyataan cinta.
Suara ketukan keras di pintu kamarnyà membuyarkan seluruh lamunan Tia. Ia membuka pintu dengan malas. Ternyata Dara, teman sebelah kamarnya yang mengajak untuk membeli nasi goreng di ujung jalan.
Dua bulan kemudian, Tia lulus dan diwisuda sebagai sarjana hukum. Ayah, ibu dan Anjas mendampinginya saat wisuda. Enam bulan kemudian, terjadilah hal yang menjadi kehendak Allah. Anjas mengalami kecelakaan saat pulang kerja. Motor yang dikendarainya ditabrak dengan keras oleh sebuah truk dari arah berlawanan. Motornya masuk ke bagian kolong truk, ia mengalami perdarahan hebat di bagian kepala. Walaupun langsung dibawa ke rumah sakit, nyawanya tidak dapat diselamatkan.
Tia yang langsung datang ke rumah sakit begitu mendapat kabar, hanya melihat jasad Anjas yang sudah ditutup kain putih. Ia bahkan tidak diperbolehkan melihat wajah Anjas untuk terakhir kali.
Dua tahun telah berlalu. Tia masih rajin mendatangi pusara Anjas dan mendoakannya. Anjas memang sudah tidak bersamanya lagi tapi kenangan indah bersamanya tak akan pernah hilang.
Komentar
Posting Komentar