Apakah ada seseorang yang sangat berarti dalam hidup kita tetapi bukan kekasih atau suami ? Kalau ada, kenapa dia tidak bisa menjadi pasangan hidup kita ? Entahlah, mungkin memang bukan jodoh yang dipilihkan Allah untuk kita. Dalam hidupku, seseorang itu pernah ada.
Namanya Chandra. Ia pernah dekat denganku saat aku masih kelas tiga SMA. Kami berkenalan di rumah seorang teman kemudian ia mengantarku pulang malam itu. Setelah pertemuan itu, ia sering menelponku. Saat itu, tiga puluh tahun yang lalu, alat komunikasi hanyalah dengan telepon rumah. Belum ada telepon genggam, apalagi internet.
Setelah saling bcara di telepon, beberapa kali ia datang ke rumahku. Hanya dalam waktu tiga bulan saja, hubungan kami sudah lebih dekat dari sekedar teman. Chandra lebih tua empat tahun dariku. Ia sudah bekerja di hotel sejak lulus dari SMK jurusan pariwisata. Di awal hubungan dekat kami, aku merasa menjadi orang yang paling bahagia di dunia. Ia adalah seorang kekasih yang sangat baik dan penuh perhatian.
Saat-saat bersama Chandra selalu indah, ia tidak pernah membuatku kecewa. Saat itu, rasanya ia bersedia melakukan apa saja untukku. Jika tidak mengobrol di rumahku, kadang-kadang kami menghabiskan waktu dengan makan di luar ataupun ke toko buku. Ia juga rajin membawakan buku bacaan atau makanan kesukaanku.
Seharusnya dengan punya kekasih sebaik itu tidak ada yang kurang dalam hidupku. Ternyata tidak. Setelah enam bulan berlalu, aku mulai merasa bosan. Rasanya tidak ada tantangan dalam hubungan kami. Chandra selalu ada untukku, menuruti semua keinginanku dan mau membantu apa saja jika kuperlukan. Ternyata bosan juga punya kekasih yang tidak pernah melawanku dan selalu menurut. Aku butuh tantangan.
Bosanku sudah tidak tertahan, aku ingin putus dari Chandra. Akupun mulai mencari-cari alasan supaya kami bertengkar. Begitu terus berkali-kali sampai kami putus. Tentu saja aku yang memutuskan. Teman-temanku yang mengenal Chandra menyalah-nyalahkan aku mengapa memutuskan orang sebaik dan sesabar dia. Di rumah, ibu dan adik-adikku bertanya kenapa Chandra tidak pernah datang lagi. Ya, sampai ibukupun tidak bisa move on. Entah punya ilmu apa si Chandra itu, sampai bisa menaklukkan hati ibuku.
Setelah putus, beberapa bulan kami tidak bertemu. Hanya beberapa bulan. Setelah itu Chandra mulai datang lagi ke rrumahku.Aku tidak bisa menolaknya, toh ia hanya datang sebagai teman. Lagi pula, tidak ada untungnya memusuhi teman sebaik dia.
Setamat SMA, aku memilih kuliah di sebuah universitas negeri di Bandung. Aku mulai sibuk dengan perkuliahan dan punya banyak teman baru. Tahun kedua kuliah, aku mengenal Panji, seorang pelatih bela diri di perguruan pencak silat Merpati Putih, tempat aku menjadi anggota. Ia tiga tahun diatasku di kampus yang sama.
Saat melatih, ia kelihatan begitu tegas dan berwibawa. Dalam latihan ia selalu disiplin dan tidak mau berkompromi dengan kami, anggota- anggota wanita yang suka mencari-cari alasan untuk bolos latihan. Ia bahkan memperlakukan kami sama dengan anggota laki-laki. Dengan pelatih seperti itu, pantas saja perguruan pencak silat kami sering menjadi juara saat bertanding dengan perguruan lain.
Dari beberapa kakak pelatih, kami paling sering membicarakan Panji. Sikapnya yang dingin terhadap gadis-gadis membuat kami penasaran. Selain itu, tubuh tinggi dengan perut dan dada six pack hasil latihan bertahun-tahunnya juga sulit untuk ditolak. Tampaknya ia tidak perduli dengan semua itu.
Panji bukanlah orang yang suka menebar pesona kesana kemari. Ia juga sedang serius mempersiapkan murid-muridnya untuk menghadapi pertandingan besar pencak silat antar universitas. Terbawa oleh semangatnya, akupun menjadi rajin latihan. Berharap Panji akan mengikut sertakan aku dalam pertandingan besar itu.
Semakin dekat waktu pertandingan, latihan kami semakin sering. Anggota wanita mulai berguguran,, tidak tahan dengan kerasnya latihan. Kami hanya tinggal berempat, kelima lainnya sudah mengundurkan diri. Dalam pertandingan yang kemudian kuikuti, sayang sekali aku belum berhasil menang. Tetapi ada yang lebih penting yaitu....aku berhasil memenangkan hati Panji. Ehm.....ada hasilnya juga latihan kerasku sebulan ini.
Hubunganku dengan Panji berjalan lancar walaupun kadang-kadang diwarnai dengan pertengkaran. Biasanya karena kami sama-sama keras kepala dan tidak ada yang mau mengalah. Panji adalah seorang laki-laki yang berpendirian teguh, tidak suka diatur-atur dan akan mempertahankan pendapat jika dianggapnya benar.
Dibalik sikap kerasnya, ia adalah seorang yang setia, memegang komitmen, bisa diandalkan dan mudah dimintai pertolongan. Seiring berjalannya waktu tidak terasa kuliahku sudah hampir selesai, tugas akhirku sudah setengah jalan. Panji sendiri sudah lama lulus dan bekerja di Jakarta.
Sampai tahun terakhir kuliahku, aku masih berteman baik dengan Chandra. Saat liburan di Jakarta, ia sering main ke rumahku. Ia sudah beberapa kali dekat dengan gadis lain dan sering menceritakannya padaku. Ia juga selalu mendengarkan dengan sabar setiap aku bercerita dengan sedih karena bertengkar dengan Panji. Jika sudah mengadu pada Chandra, rasanya hatiku menjadi hangat. Ia seperti seorang kakak yang tidak pernah kumiliki.
Kedekatan hubunganku dengan Chandra ternyata memancing kecemburuan Panji. Apalagi sudah hampir setahun ini dia sering ke luar kota untuk urusan pekerjaan. Suatu malam, kami bertengkar di rumahku.
"Asti, aku tidak suka melihatmu terlalu dekat dengan Chandra", kata Panji.
"Terlalu dekat bagaimana ? Ia temanku sejak masih SMA. Bisa-bsanya kau cemburu padanya", balasku.
"Teman dekat ? sedekat apa rupanya ? Ia pernah menjadi kekasihmu. Saat aku tidak di Jakarta, kau selalu menghabiskan waktu dengannya. Chandra pasti menertawakan aku di belakang karena gadisku mau saja diajak-ajak pergi olehnya." Lanjut Panji.
"Apa maksudmu ? Kau kira aku serendah itu ? Kami jarang sekali pergi berdua, selalu bersama-sama dengan teman yang lain." Kataku dengan kesal.
"Ah, itu kan hanya alasan. Siapa yang tahu kalau kau dan Chandra kemudian memisahkan diri ?" lanjutnya lagi.
"Sebenarnya apa maksudmu, Panji ? Kau tidak percaya padaku ? Jangan menuduh tanpa bukti." Aku semakin emosi.
"Tidak perlu bukti. Di depanku saja kau membela dia mati-matian. Coba jawab, apakah lebih penting dia daripada aku ? Kalau kau lebih memilih Chandra, kita harus memikirkan lagi kelanjutan hubungan kita." jawab Panji.
Apa maksud Panji dengan ucapannya ? Kalau dikiranya aku bisa diancam-ancam, dia salah besar. "Apa maksudmu, Panji ? Kau ingin hubungan kita putus ? balasku tidak terima.
"Bukan aku yang menginginkannya, tetapi kau. Sampai kapan kau mau bermain dobel ? Berselingkuh di belakangku ?" Kalau kau tidak menganggap penting hubungan kita, untuk apa dipertahankan ?" Panji semakin marah. Ia benar-benar mengajak perang.
"Oooh.....jadi itu yang kau inginkan. Baik, kau akan mendapatkannya !" jawabku tanpa berpikir lagi.
Panji langsung membalas, "Memang itu maumu. Tidak usah berputar-putar kesana kemari. Jangan pernah sesali keputusanmu !" Panji bangun dari duduknya dan langsung berjalan keluar dari rumahku. Hah ? enak saja ia pergi meninggalkanku yang masih penasaran. Aku bimbang antara membiarkannya pergi atau menahannya. Akhirnya gengsiku yang menang. Memang siapa dia sampai harus kujejar-kejar ?
Sepeninggal Panji, aku menangis. Kenapa harus berakhir seperti ini ? Kalau saja aku sedikit mengalah, mungkin tidak begini jadinya. Aku lupa bahwa orang seperti Panji tidak bisa ditantang, apalsgi diancam-ancam. Ahhh...sudahlah. Semua sudah terlambat. Tidak ada jalan untuk kembali..
Hari-hari berikutnya sangat suram bagiku Semua serba tidak enak. Ada duri di makananku, ada api di minumanku. Aku kehilangan semangat untuk melakukan apapun. Aku juga menjauhi Chandra, selalu menghindar darinya dengan berbagai alasan. Jika aku semakn dekat dengan Chandra, Panji akan merasa menang karena tuduhannya benar. Itulah yang tidak kuinginkan.
Putusnya hubunganku dengan Panji membuat urusan kuliahku terbengkalai. Tugas akhirku yang sudah setengah jalan tidak kulanjutkan lagi. Suatu hari aku mendapat telepon dari sahabatku, Tiara. Ia mengajakku ke Bandung untuk menghadiri wisuda Nurul dan Ismi. Tiara sendiri sudah lulus dan diwisuda bulan lalu. Kami berempat sudah bersahabat sejak awal kuliah.
Ajakan Tiara menyadarkanku betapa aku telah melakukan hal yang bodoh. Menangisi seorang lelaki yang sudah tidak perduli kepadaku dan mengorbankan kuliahku. Aku teringat ayah dan ibu yang berjuang keras membiayai kuliahku agar aku mempunyai masa depan yang baik. Anak seperti apa aku ini, yang tega menyia-nyiakan harapan mereka.Aku sungguh menyesal.
Aku berangkat ke Bandung dengan Tiara. Datang ke acara wisuda Nurul dan Ismi semakin menyadarkanku bahwa aku sudah banyak tertinggal. Separuh teman seangkatanku sudah diwisuda. Akupun kembali tancap gas melanjutkan menyusun tugas akhirku. Kudatangi dosen pembimbing yang menyambutku dengan gembira. Dikiranya aku sudah hilang entah kemana.
Tiara, Nurul dan Ismi sangat gembira melihatku kembali kampus. Mereka juga membantu dengan senang hati apa saja yang kubutuhkan agar aku bisa cepat lulus. Tidak sampai dua bulan kemudian aku berhasil menyelesaikan semuanya, maju sidang dan dinyatakan lulus sebagai sarjana hukum. Tidak kuduga, Panji datang ke acara wisudaku dan mengucapkan selamat dengan suara bergetar. Aku tidak mampu menahan tangis. Permntaan maaf yang ia ucapkan kemudian membuatku luluh dan tidak mampu untuk menolak.Seperti aku, ia juga menderita karena keputusan bodoh yang kami buat dulu. Kami ingin memulai lembaran baru.
Kembali ke Jakarta, aku mendapat ucapan selamat dari Chandra. Sejak kularang datang ke rumah setelah pertengkaran terakhirku dengan Panji, kami memang belum pernah bertemu lagi. Ia mengatakan sengaja tidak mau menghubungiku karena tidak mau menggangguku yang sedang sibuk menyelesaikan tugas akhir. Bulan depan ia akan meninggalkan Jakarta untuk bekerja di sebuah kapal pesiar berbendera Amerika. Aku mengucapkan selamat. Memang itu yang selalu diinginkannya.
Aku dan Chandra duduk berhadapan di teras rumahku. Besok ia akan berangkat. Ia membuka percakapan.
"Asti, besok aku akan berangkat. Mungkin bertahun-tahun lagi baru kapalku akan kembali ke Indonesia. Aku sungguh sedih tidak bisa bertemu denganmu lagi."
"Jangan bicara seperti itu, Chandra. Bagaimana dengan aku ? Tidak ada lagi yang mau menemaniku ke pasar jika disuruh belanja oleh Mama. Tidak ada juga yang mengingatkanku untuk minum obat kalau asmaku kambuh. Aku juga tidak mau pergi sendiri ke pasar Senen mencari buku dan novel yang murah. Tidak ada teman bicara yang lebih asyik dari kamu untuk membahas buku-buku itu." Aku tak sanggup melanjutkan bicara, mataku berkaca-kaca.
"Semua itu bisa kau lakukan sendiri. Kau lebih kuat dan tegar dari yang kukira. Kau sudah berhasil melawan keterpurukanmu dan menyeleaikan tugas akhirmu dalam waktu dua bulan saja. Aku sungguh bangga padamu, Asti. Kudoakan semoga kau berbahagia bersama Panji. Ia lak-laki yang baik dan akan menjagamu selama hidupnya." Chandra terus berbicara sambil menatapku. Aku diam, berusaha keras menahan tangis.
"Aku pamit, Asti. Maafkan semua kesalahanku selama ini." Chandra langsung berdiri. Aku tak tahan lagi. Aku benar-benar menangis sambil menghambur memeluknya. Ia mengusap kepalaku. Matanya juga berkaca-kaca. Setelah itu, Ia memutar badannya dan pergi meninggalkanku.
Aku mengantarnya sampai ke pagar dan memandangnya sampai hilang di ujung jalan. Hatiku sangat sedih dan hampa, kehilangan seseorang yang sangat berarti seperti dirinya.
Komentar
Posting Komentar