Tinggal di Kompleks Perumahan kok Kurang Asyik, Mau Tahu Alasannya?


Buat pasangan suami isteri yang baru akan membeli rumah, pastinya cukup bingung menentukan pilihan. Pilih rumah di perkampungan, perumahan atau apartemen?  Kalau punya dana yang cukup besar sih mudah-mudah saja, tinggal beli sebuah rumah cantik atau satu unit apartemen di tengah kota, persoalan selesai.

Bagaimana kalau punya dana pas-pasan, hasil mengumpulkan sedikit demi sedikit selama masih tinggal di rumah orang tua? Tentu harus lebih bijak memilih rumah yang sesuai dengan keinginan tetapi sesuai dengan dana yang tersedia.

Bagaimana cara mendapatkan rumah idaman ? Paling mudah adalah mendatangi pameran-pameran perumahan yang sering diadakan. Pameran itu bukan hanya memajang foto atau miniatur rumah-rumah, tetapi juga memberi informasi cara pendanaan yang bisa dipilih oleh pembeli.

Biasanya ada berapa Bank baik syariah maupun bukan   yang memberi Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dan membuka gerai di pameran itu. Pengunjung  lihat melihat  brosur-brosur dan memilih berbagai model rumah yang cantik-cantik. Nama kompleks perumahannya pun keren-keren.

Mudah sekali, bukan? Dengan sekali mengunjungi pameran saja sudah tercapai impian punya rumah sendiri. Apakah kenyataannya seindah itu? Dari banyak cerita teman-teman yang membeli rumah di kompleks perumahan, ternyata banyak juga cerita yang kurang sedap.

Mulai dari pembangunan rumah yang terus molor tidak sesuai janji, kualitas bangunan rumah yang sangat buruk sampai fasilitas-fasilitas pendukung di perumahan yang juga tidak sesuai janji.

Duluuu sekali, kira-kira 20 tahun yang lalu, ketika akan membeli rumah, saya dan suami juga rajin mengunjngi pameran-pameran perumahan. Dalam pembicaraan dengan teman-teman di kantor,  kami yang belum punya rumah sering bertukar informasi soal ini sehingga sampai ke telinga Maman, salah seorang OB di kantor.

Maman menceritakan pada saya dan teman-teman tentang adanya beberapa bidang tanah yang dijual, berlokasi di dekat rumahnya di pinggiran Jakarta. Ia menawarkan kepada kami barangkali tertarik untuk membeli tanah-tanah di dekat rumahnya itu. Luas tanahnya sekitar 150 m2 - 250 m2, cukup lumayanlah jika dibandingkan dengan rumah-rumah di perumahan yang kebanyakan berukuran sangat mungil.

Maman juga menceritakan bahwa lokasi tanah-tanah itu berbatasan dengan Jakarta, tidak banjir, keadaan airnya bagus dan lingkungannya masih asri. Rupanya si Maman ini lumayan berbakat menjadi salesman perumahan dan gaya promosinya berhasil menarik hati saya. Setelah membujuk suami untuk meninjau lokasi tanah tersebut, pergilah kami ke sana.

Pertama datang ke tempat itu, rasanya cukup jauh dan berbelok-belok tidak karuan. Jaraknya 1 km dari jalan  besar yang dilewati bus dan angkot. Soal berbatasan dengan Jakarta dan hanya 3 menit dari Jakarta, itu benar. Tapi.......belak-beloknya itu lho yang nggak tahan.......

Setelah beberapa kali datang lagi ke sana, mencari informasi sana sini tentang keadaan lingkungan di sekitar lokasi, akhirnya saya dan suami memutuskan untuk membeli tanah itu.  Beli tanah? Memang uangnya cukup? Oh......tentu tidak. Alhamdulillah orang tua meminjamkan sejumlah dana kepada kami untuk menutupi kekurangannya, yang harus kami kembalikan dengan cara mencicil setiap bulan. Jadilah kami punya sebidang tanah yang berupa kebun rambutan.

Kami memutuskan untuk membangun rumah diatas tanah itu secara bertahap. Maksudnya bertahap ya sesuai dengan keadaan keuangan kami tanpa meminjam pada bank. Karena kami berdua sama-sama bekerja, setiap ada sisa gaji, THR atau bonus kami belikan bahan bangunan.

Kurang lebih empat tahun kemudian barulah kami bisa menempati rumah tersebut. Apakah rumahnya secantik rumah-rumah dalam brosur pameran? Wah.....maunya sih begitu, tapi kenyataannya  masih jauh dari cantik. Saat kami tempati , sebagian dinding rumah masih berupa batu
bata dilapis semen plesteran alias belum ditembok. Tapi kualitas bangunannya tidak perlu diragukan, karena kami memilih bahan bangunan sendiri setelah berkonsultasi dengan seorang teman yang arsitek.

Singkat cerita jadilah kami penghuni sebuah rumah di tengah perkampungan yang cukup padat di daerah selatan Jakarta, tepatnya tiga menit dari Jakarta. Rumah-rumah sudah cukup rapat, hanya ada beberapa bidang tanah yang masih berupa kebun. Rumah kami terletak di dekat sebuah pondok pesantren dan masjid yang sangat besar, sehingga selalu terdengar suara azan dan lantunan ayat-ayat suci.

Sebelum pindah ke rumah baru, kami tinggal di tengah kota Jakarta yang sangat ramai. Walaupun cukup akrab, hubungan dengan tetangga masih terasa berjarak. Kadang-kadang kami tidak tahu jika ada tetangga yang sakit atau mendapat musibah.

Kesulitan pertama yang kami rasakan setelah pindah ke rumah baru adalah.......jauh kemana-mana. Untung saja kedua anak kami langsung mendapat sekolah yang cukup dekat dari rumah. Seperti biasa, anak-anak lebih cepat beradaptasi dan sudah punya banyak teman yang seumuran.

Setelah beberapa bulan tinggal di lingkungan baru, ternyata kami merasakan  suasana yang sangat berbeda  dengan di kota besar ataupun di perumahan. Yang paling menonjol adalah kerukunan, kebersamaan dan tolong-menolong yang masih kental, yang mulai langka di kota besar.

Tentu saja tinggal di perkampungan banyak suka dan dukanya, tetapi bagi keluarga kami, jauh lebih banyak sukanya. Berikut adalah hal-hal yang kami alami selama tinggal di perkampungan dan  membuat kami semakin betah :

1. Kepedulian kepada Tetangga yang Sedang Kesusahan.

Jika ada warga yang sakit, pak RT akan menyuruh dua orang petugas RT untuk mendatangi semua rumah sambil membawa buku catatan.  Mereka bertugas  mengumpulkan  sumbangan seikhlasnya untuk si sakit. Sumbangan berapapun diterima dan jika tidak bisa menyumbang juga tidak apa-apa.

Jika sumbangan sudah terkumpul, sekelompok ibu-ibu dan bapak-bapak (jika yang sakit bapak-bapak) akan menjenguk di sakit beramai-ramai sambil membawa uang sumbangan. Berita tentang warga yang sakit ini cepat sekali menyebar dan mudah sekali mengumpulkan warga yang akan menjenguk.

2. Kewajiban Menyumbang Beras

Setiap hari Minggu setiap rumah harus menaruh segelas beras di depan rumah (gelas dibagi oleh RT). Akan ada petugas RT yang membawa karung dan mengumpulkan seluruh beras. Jika sudah terkumpul, beras-beras itu akan dijual kepada warga kurang mampu dengan harga setengah dari harga pasar. Beras-beras ini selalu laris terjual dan pembelinya harus diatur bergiliran. Istilah kerennya, tindakan seperti ini disebut subsidi silang.

3. Saling Mengantar Makanan

Jika tinggal di kampung, merupakan pemandangan yang lazim jika ibu-ibu mengantar makanan ke rumah-rumah tetangga. Saat baru menjadi warga di sana, saya cukup heran mendapat antaran makanan dari tetangga kiri kanan yang baru saya kenal. Ada kue-kue buatan sendiri seperti bakwan, cucur dan tape goreng. Ada juga yang mengantar sayur asam, urap, soto ayam atau rendang jengkol.

Menurut suami saya, dalam agama Islam memang harus begitu. Kalau kita memasak sesuatu, tetangga kiri kanan yang ikut mencium bau masakan kita juga harus dibagi. Jadilah kami ikut mengantar makanan ke tetangga kanan kiri. Berhubung masakan kami tidak banyak, maka harus kami gilir.

Kalau ini antar makanan ke ibu Haji sebelah kanan rumah, besok antar ke ibu warung sebelah kiri dan besoknya lagi ke Mpok yang di depan rumah. Repot? Tidak juga. Malah jadi seru, biar mencoba macam-macam kue dan masakan. Pernah suatu kali saya malas masak karena sedang kurang sehat, rasanya lapar tapi tidak ada makanan. Eh....tiba-tiba tetangga sebelah mengantar sepiring urap. Tidak lama kemudian, tetangga yang lain mengantar sayur asam lengkap dengan ikan asin bulu ayam di goreng garing plus sambal terasi. Wah.....nggak kebayang nikmatnya !

4. Menitipkan Anak pada Tetangga

Jika suatu waktu kita harus meninggalkan  rumah karena suatu urusan padahal tidak bisa membawa anak, kita bisa menitipkan anak yang masih kecil pada tetangga. Anakpun senang-senang saja  dititipkan di rumah teman mereka. Tetangga akan menjaga anak kita sepanjang hari. Memberi makan, menyuruh mandi dan mengantarkan pergi mengaji dengan sepeda motor.

Pernah suatu waktu ada tetangga yang suaminya yang polisi s sang bertugas ke daerah dan istrinya terkena penakut demam berdarah dan harus dirawat di rumah sakit padahal mereka tidak punya ART. Kami para tetangga bergantian mengurus kedua anak balita mereka sampai nenek kedua anak itu datang.

5. Melayat ke Rumah Warga yang Meinggal Dunia.

Di lingkungan rumah kami, jika ada warga yang meninggal akan segera diumumkan di mesjid dan musholla. Ibu Haji sebelah rumah akan memanggil ibu-ibu lain dan kami akan pergi melayat bersama-sama. Tiba di rumah duka, Bapak-bapak sudah lebih dulu datang.

Kadang-kadang warga yang meninggal dan kami datangi itu belum tentu kami kenal, tetapi tetap kami datangi dan doakan beramai-ramai.

6. Mudah Minta Pertolongan pada Tetangga

Yang dimaksud minta tolong ini dalam arti sangat luas. Misalnya saat mau makan ternyata nasi di dalam magic com masih mentah alias lupa diceklek, tinggal minta nasi ke tetangga. Boleh ke rumah sebelah kiri, kanan atau depan.

Jika ada tetangga yang akan menikahkan anak atau mengadakan acara selamatan, ibu-ibu tetangga akan datang tanpa diminta untuk membantu memasak. Pemilik rumah akan menyediakan kue-kue untuk ibu-ibu yang membantu memasak. Saat akan pulang, ibu-ibu itu biasanya diberi masakan yang tadi mereka masak bersama.

Jika ada tetangga lewat di depan rumah kita untuk membeli sayur, kita bisa menitip minta dibelikan apa-apa yang perlu di penjual sayur. Demikian pula sebaliknya jika kita yang pergi ke tukang sayur.

Urusan membuat pekerjaan rumah anak juga begitu. Jika ada anak yang kesulitan membuat pekerjaan rumah atau tugas dari sekolah, ibunya akan membawanya ke rumah tetangga yang ibunya bisa membantu mengajari membuat tugas itu.

7. Tradisi Malam Lebaran

Tradisi sangat unik di malam lebaran adalah mengantar makanan ke rumah-rumah tetangga. Biasanya saya mendapat nasi plus lauk pauk seperti semur daging, sambal goreng kentang dan sayur pindang kuning (mirip-mirip soto daging sapi  berwarna kuning). Bayangkan jika mendapat 5 atau 6 paket hidangan lengkap seperti itu, mau dikemanakan?

Yang bertugas mengantar paket makanan ini adalah anak-anak tetangga yang masih kecil. Penerima paket makanan akan memberi sekedar uang jajan untuk mereka. Itu sebabnya setiap malam lebaran anak-anak selalu bersemangat mengantar pake makanan. Selain memberi uang jajan, anak-anak juga akan membawa makanan balasan.

Demikian keseruan tinggal di perkampungan yang belum tentu kita peroleh jika tinggal di kompleks perumahan.  Tentu saja tidak semua menyenangkan, misalnya tidak ada satpam yang menjaga rumah kita seperti di kompleks perumahan, ada tetangga yang menjemur kasur di depan rumah kita atau ada anak tetangga yang main sampai malam di rumah kita dan ibunya tidak menjemput. Sesama tetangga juga lebih peduli pada orang lain dan kadang dianggap  mencampuri urusan orang.

Bagaimanapun, jauh lebih banyak sukanya daripada dukanya.  Menurut curhatan teman-teman yang tinggal di kompleks perumahan, hubungan antar tetangga tidak sedekat di perkampungan. Ada yang tidak mengenal tetangga yang persis di sebelah atau di depan rumah. Jika ada warga yang sakit atau mendapat musibah, belum tentu diketahui oleh tetangga-tetangga terdekatnya.

Jadi, jika ada diantara teman-teman yang sedang mencari rumah tinggal, pertimbangkan baik-baik pilihan kalian. Suka tinggal di lingkungan yang akrab dan guyub, atau lingkungan yang warganya lebih individual dan hanya mementingkan urusan masing-masing?












Komentar

  1. Saya besar di perumahan lho, Bun. Tapi kok saya nggak merasa begitu ya. Kalau nasi abis, saya disuruh minta ke tetangga. Sayur abis kadang dikirimi tetangg. Sekarang sudah nikah,tinggal di kampung malah merasa sebaliknya. Apa saya yang kurang gaul ya?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya. Mungkin ada juga perumahan yang warganya udah akrab, mungkin udah tinggal lama, bertahun-tahun.

      Hapus
  2. saya hidup di kampung, asalkan kita baik bertetangga maka tetangga akan baik juga dengan kita.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya. Yang penting jangan saling mengganggu, pastti aman-aman aja.

      Hapus
  3. Tergantung orangnya ya mbak, kadang walaupun tinggal di perkampungan kalau jarang keluar rumah, tetangganya juga gak akan kenal.

    BalasHapus
  4. Semua ada plus minusnya. Paling enak kalo punya dua rumah.satu di perkampungan,satu di perumahan wekekekek...

    BalasHapus
  5. Terpenting adalah bagaimana kita berbaur dengan lingkungan. di perumahan seperti ini. di kampung seperti itu, menurutku sama saja. kalau kita tidak bersosialisasi. Tidak akan ada yang berubah.

    BalasHapus
  6. Iya mba..kalau hidup di kampung menyenangkan ya, guyup rukun itupun kalau kita bisa berbaur dengan mereka.

    BalasHapus
  7. Mungkin emang ada perumahan yang kyak gitu ya, mbak. Alhamdulillah perumahan tempat saya tinggal guyup rukun aja. Minta makan sama tetangga juga bukan hal yang aneh. Malah, kami juga sering makan2 bareng. Nengok org sakit sudah pasti. Kalau ada tetangga yang sakit biasanya juga saling jagain anak2. Walaupun ya, rasan merasani tetangga itu tetap tumbuh subur heheh

    BalasHapus
  8. Saya tinggal di perumahan mbak, kangen sama nasi kenduri yang rasanya syedep karena kena doa...

    BalasHapus
  9. Saya belum pernah tinggal di perumahan. Asli wong ndeso iki. Hehehe

    BalasHapus
  10. Saya belum pernah tinggal di perumahan. Asli wong ndeso iki. Hehehe

    BalasHapus
  11. Kayaknya tergantung penghuni kompleks nya deh. ..

    BalasHapus
  12. Lingkunganya masih kental adat kekeluargaan ya mbak. Zaman sekarang, banyak hal baik yang semakin sulit dijumpai

    BalasHapus

Posting Komentar