Lost in Your Eyes

Solo, 1988

Siang yang terik. Panasnya matahari seakan tembus ke kamar Adisti, membuatnya berkeringat dalam tidurnya walaupun sudah memasang kipas angin. Solo pada musim panas selalu  kering dan gersang. Memilih kuliah di sebuah Universitas negeri di Solo membuat Adisti bisa merasakan udara panas yang lebih menyengat daripada Jakarta.

Suara ketukan yang  bertubi-tubi di pintu kamarnya memaksa Adisti untuk bangun dan berjalan malas-malasan untuk membuka pintu. Tampaklah wajah Retno dan Iin, dua teman kosnya yang sedang tersenyum-senyum.

"Aduuuh.....ganggu orang tidur aja. Ada apa sih ?" tanya Adisti.

"Eh.....maaf. Anak-anak mau pada ngerujak, bahannya udah siap semua. Tolong bikinin bumbunya, ya Dis." Retno memohon sambil memasang wajah memelas."

"Kenapa sih kalian nggak bikin sendiri ? Aku ngantuk banget nih, semalam begadang ngerjain tugas."

"Nggak ada yang bisa bikin bumbu seenak kamu, Dis. Pernah dibikin sama Iin, rasanya nggak jelas. Kurang pedas, kurang asin, kurang manis. Semuanya kurang."

"Iya Dis. Aku sendiri nggak mau makan bumbu bikinanku. Ayo dong......bikinin ya, Dis ? please......Kali ini Iin yang mrmbujuknya. Sebenarnya bukan membujuk, tapi memaksa. Buktinya, tangannya sudah ditarik tanpa permisi.

Mereka berjalan ke ruang tengah, tempat berkumpulnya anak-anak kos, di depan deretan kamar-kamar.  Ria, Inya, Dara, Rina dan Aan sedang berkumpul di depan sebuah piring besar berisi nanas, mangga dan jambu air. Semua buah sudah dikupas dan dipotong rapi. Disebelah piring ada cobek, ulekan dan semua bahan bumbu rujak.

Hilang sudah kantuk Adisti. Buah rujaknya sangat menggoda. Ia langsung mengambil cobek dan beraksi. Urusan mengulek bumbu rujak memang sudah keahliannya. Sebentar saja sudah selesai.

‌Sungguh nikmat makan rujak yang pedas manis beramai-ramai. Jika dimakan sendirian pasti tidak sama rasanya karena kehilangan sensasi berebut buah-buahannya. Ria dan Aan menciut-ciut kepedasan, tapi tetap tidak berhenti makan. Yang lain juga tetap bersemangat meski sudah berkeringat. Akhirnya semua rujak  habis tak bersisa. Mereka membereskan semua peralatan, mencucinya lalu meneruskan mengobrol di depan kamar.

‌Obrolan mereka terhenti saat mendengar suara klakson motor Pak Pos. Ria dan Dara sudah berlari keluar. Ternyata ada 3 buah surat. Untuk Ria, Inya dan Dara. Mereka memang sedang menjalani LDR dengan kekasih di luar kota.  Adisti menghela nafas kecewa.

Sudah 2 bulan ini tidak ada kabar dari Imar, lelaki terkasih  yang sudah 5 tahun bersamanya. Imar memang paling malas menulis surat. Kalaupun menulis, jarang sekali lebih dari selembar. Kalau sampai 2 lembar, lembar keduanya hanya terisi 2 baris. Suratnyapun tidak datang sesering kekasih teman-temannya.

Berbeda dengan Imar, Adisti suka sekali menulis surat, apalagi untuk Imar. Surat dari Imar selalu dibalasnya dengan penuh semangat, 3 halaman penuh kertas ukuran A4. Senang sekali hatinya menceritakan kejadian sehari-hari, segala hal yang lucu, sedih dan gembira. Ia juga menuliskan  kerinduannya dan semua isi hatinya.

Adisti juga tahu, dibalik kemalasannya menulis surat, Imar adalah seorang yang setia, bertanggung jawab,  memegang komitmen dan tidak suka tebar pesona kesana kemari. Setelah selesai kuliah di Jakarta, ia bekerja sebagai pegawai negeri di Malang. Hubungan mereka tetap lancar. Saat libur kerja, Imar mengunjungi Adisti ke Solo. Mereka akan menjelajahi kota Solo dan menikmati makanan enak di seluruh sudut kota

Saat ini Adisti sedang sedih. Hubungannya dengan Imar sedang bermasalah. Bukan dalam bentuk pertengkaran seperti yang sering terjadi jika mereka sama-sama tidak mau mengalah, tetapi lebih serius lagi. Semuanya karena ulahnya sendiri. Saat libur semester yang lalu, ia pulang ke rumah orang tuanya di Jakarta. Ia bertemu dengan Ario, yang dulu pernah dekat dengannya saat SMA.

Hubungan mereka sudah berakhir saat kelas 2 SMA, jauh sebelum ia mengenal Imar. Setiap ia berada di Jakarta, Ario selalu berusaha menelponnya, datang ke rumahnya dan membawakannya makanan kesukaannya. Ia juga sering mengobrol dengan mama Adisti, hal yang jarang dilakukan oleh teman-teman prianya  yang lain.

Ario adalah orang yang mudah akrab dengan siapa saja, mudah dimintai tolong dan pintar mengambil hati orang tua. Sejak putus dengan Adisti, ia sudah beberapa kali berganti kekasih, tetapi hubungannya dengan keluarga Adisti tetap akrab dan hangat.

Suatu hari saat liburan, Adisti sedang mengobrol dengan Ario di teras rumahnya. Saat itu Adisti sedang perang dingin dengan Imar dan saling tidak mau berkirim surat, karena Adisti marah besar hanya karena Imar tidak ingat hari ulang tahunnya. Mereka mengobrol dengan sangat akrab sampai berjam-jam.

Tanpa sadar Adisti menceritakan pertengkarannya dengan Imar dan semua kesedihan hatinya. Ario mendengarkan dengan sabar tanpa menyela satu katapun. Tidak juga menyalahkan Imar. Ia tahu bahwa Adisti hanya ingin didengarkan, bukan dikomentari, apalagi dinasehati. Ia hanya menyediakan bahu untuk bersandar. A shoulder to cry on.

Di akhir keluh kesahnya, Adisti mendapati dirinya sudah menangis dan bersandar di dada Ario. Ario membiarkannya menangis sampai puas. Hanya itu. Ario tidak berusaha memanfaatkan kesempatan dengan melakukan hal-hal yang lebih jauh. Kalau ia mau, suasana sangat mendukung, dalam keadaan seperti itu mungkin saja Adisti juga tidak menolak.

Sejak kejadian itu, Adisti dan Ario menjadi lebih akrab, sering pergi berdua ke bioskop, tempat makan, toko buku dan tempat-tempat lainnya. Liburannya di Jakarta dinikmatinya bersama Ario seperti sepasang kekasih. Adisti seperti terbius oleh pesona Ario dan lupa pada Imar.

Saat liburan usai dan kembali ke Solo barulah ia merasa sangat menyesal. Ia menulis surat yang sangat panjang dan menceritakan semua kejadian kepada Imar. Ia juga meminta maaf berulang kali atas semua kekhilafannya.

Ia berbicara dengan Imar di telefon sampai cukup lama. Tentu saja Imar tidak bisa menerima dan marah pada Adisti. Selama 5 tahun hubungan mereka, belum pernah salah satu dari mereka berhubungan spesial dengan orang lain. Setelah itu Adisti masih mencoba menelfon Imar beberapa kali tetapi rupanya keadaan tidak juga berubah.

Setelah peristiwa itu, hubungan mereka menjadi tidak menentu. Tidak ada yang berani mengirim surat, menelfon ataupun saling bertemu. Walaupun begitu, Adisti masih punya keyakinan bahwa keadaan akan membaik dan Imar akan berbaikan lagi dengannya. Hari demi hari berlalu, setelah 3 bulan dalam kebimbangan, akhirnya Adisti tidak tahan lagi. Ia memberanikan diri pergi ke Malang untuk menemui Imar. Ia berangkat malam itu juga.

Jam 7 pagi Adisti sudah tiba di depan rumah kos Imar di Malang. Dengan penuh kerinduan ia berharap Imar sudah mau berbaikan dengannya. Apa yang didapatnya ?  Imar menatapnya tanpa ekspresi.

"Imar, maafkan Aku. Maafkan semua kesalahanku. Aku akan memperbaikinya demi hubungan kita. Maukah kamu memaafkanku ?"

"Adisti, aku sudah lama memaafkanmu. Aku hanya tidak bisa mempercayaimu lagi. Aku tidak ingin melanjutkan hubungan kita. Sudah kupikirkan berulang kali selama kita tidak bertemu. Maafkan Aku. Keputusanku sudah bulat.

Adisti menatap kedua mata Imar dengan putus asa. Baru kali ini ia melihat sorot mata Imar seperti itu. Ia merasa tersesat didalamnya. Tidak ada lagi cinta, sayang atau apapun di sana. Kalau tersesat membuat orang merasa sedih, bingung dan kehilangan arah, maka itulah yang dirasakannya saat ini.

Ia tahu bahwa Imar tidak lagi membutuhkan jawaban darinya. Ia merasa matanya panas, lututnya lemas dan kakinya tidak menginjak tanah. Hanya sisa tenaganya yang membuatnya bisa memutar tubuhnya dan pergi dari hadapan Imar. Tidak dipedulikannya lagi suara Imar yang memanggilnya berulang kali.

Komentar

  1. Laki2 kalau egony tersakiti bisa hilang cintany
    Memahami perasaan imar sih sbenerny
    Smoga imar n adisti masing2 dpt org yg tepat xixixi
    Ni masih ad lanjutanny g sih mb
    Adisti sm yg pernah deket sm dia apa gmn

    BalasHapus
  2. Jahat banget Imar, masak Adisti digantung, udah jauh pula disamperin dari.solo ke malang. Hiks. Yang tabah ya Dis

    BalasHapus
  3. Endingnya sedih banget. 😰 memang susah kalau kepercayaan sudah ternodai

    BalasHapus
  4. Masih ada lanjutannya kaah...mau baca sambil ngemilin rujak.😁

    BalasHapus
  5. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Maaf td auto english mba. Ini ngerasain rasanya di gantung banget, sedih nya itu

      Hapus
  6. Memang tidak tepat curhat masalah cinta dg lain jenis. Apalagi dg mantan. Akibatnya bs fatal.

    BalasHapus
  7. Duuh ko sad ending mbak, Salbiah belum berasa kelar bacanya, besok dilanjut lagi ya mbak... Jadi perhatian buat kita semua yah. Menjaga amanah pada suatu hubungan, insya Allah akan membawa keberkahan. Jangan pernah sakiti pasangan kita. Semngat memenang amanah.

    BalasHapus
  8. Adisty terlalu jujur yah 😀,, tp Imarnya jg ngomong langsung dong klo mo putus jgn digantungin gitu,, eh kok saya yg ngedumel 😄..
    Ini sdh end atau masih ada lanjutanya kh???

    BalasHapus
  9. Adu kalau bahas cinta kayak gini ku orang pertama tutup maya dam telinga. Ngeri soalnya

    BalasHapus
  10. Suka sama setting tempatnya, Solo dan Malang: dua kota tercinta :)
    Pesannya bagus, tentang kejujuran dan kepercayaan. Mahal emang harganya.
    Btw, kalo setting waktunya ini agak zaman dulu ya, Mbak? Soalnya kok surat2an :)

    BalasHapus
  11. Begitulah yang terjadi ketika sebuah kepercayaan dikhianati.

    BalasHapus
  12. Baca judulnya jadi ingat lagu favorit zaman dulu. "Lost in your eyes" (Debbie Gibson) ☺

    Terus lanjutannya gimana mbak? Balik sama Ario lagi nggak? *kepo 😆

    BalasHapus
  13. Duh sedih banget endingnya, kepercayaan emang mahal

    BalasHapus
  14. duuuh... kok sad ending sih. lanjutkan mbak.

    BalasHapus

Posting Komentar