Ini cerita tentang seorang tukang jajanan di depan SD tempat sekolah anak saya yang sangat pintar memanfaatkan peluang. Saat itu bulan ramadhan, jam 9 pagi adalah waktu istirahat sekolah. Anak saya, Hasna, 6 tahun, masuk ke rumah dengan terengah-engah sehabis berlari. Walaupun jarak sekolahnya hanya 50 meter dari rumah, ia tidak pernah pulang pada waktu istirahat. Di tangannya ada selembar kertas besar. Karena heran saya langsung bertanya, "Hasna, kenapa pulang? Ada yang ketinggalan?"
"Nggak Bu, mau mewarnai gambar."
"Kenapa nggak di sekolah?"
"Nggak bawa crayon tadi. Kata abangnya boleh diwarnai di rumah."
"Abangnya? Ibu kira disuruh sama guru. Abang siapa?"
"Ibu jangan tanya-tanya dulu, deh. Nanti abangnya keburu pergi."
Saya terpaksa tidak bertanya lagi walaupun masih penasaran. Ternyata yang dibawa oleh Hasna adalah selembar kertas foto copian bergambar seorang putri raja. Ia mewarnai gambar itu dengan terburu-buru dan langsung berlari kembali ke sekolah.
Saya mengikuti Hasna ke sekolah, kepingin tahu apa yang akan dilakukannya dengan gambar itu. Di luar pagar sekolah, ada banyak tukang jajanan. Selama bulan ramadhan, tidak ada yang berjualan makanan. Mereka telah digantikan oleh penjual aneka mainan murah seperti keong (kelomang) yang bisa berjalan lengkap dengan rumah keongnya (rumahnya ada ayunannya segala, emang siapa yang mau naik?). Ada juga penjual anak ayam dan anak bebek yang diwarnai dengan sepuhan, penjual sumpit dari bambu yang bisa ditiup, penjual balon kecil-kecil yang diisi air dan masih banyak lagi.
Di sebelah penjual balon isi air, ada seorang bapak tua yang duduk di atas tikar plastik, ke situlah tadi Hasna menyerahkan gambarnya. Bapak itu sedang dikerubungi oleh anak-anak yang berebut mengambil dan menyerahkan gambar. Ternyata anak-anak membeli gambar-gambar itu untuk diwarnai. Setelah diwarnai, harus diserahkan kembali kepada si bapak untuk dinilai
Nilainya ada yang 70, 80 dan 90 Setelah dinilai, anak-anak mendapat hadian sesuai nilai dari gambarnya. Setiap hadiah sudah dibungkus plastik kecil-kecil. Ada pinsil, penghapus, rautan dan penggaris. Ada juga jepitan rambut dan stiker tempel macam-macam gambar. Anak-anak menerima hadiah mereka dengan gembira sambil membanding-bandingkan dengan hadian teman-temannya. Dari semua penjual mainan, bapak itu yang paling ramai didatangi anak-anak.
Saya sungguh kagum. Kok bisa-bisanya bapak tua itu punya ide yang begitu cerdas untuk menjual dagangannya. Padahal hadiah yang diberikannya sangat murah tetapi anak-anak menerimanya dengan gembira karena gambar mereka dihargai, bukan sekedar membeli barang.
"Nggak Bu, mau mewarnai gambar."
"Kenapa nggak di sekolah?"
"Nggak bawa crayon tadi. Kata abangnya boleh diwarnai di rumah."
"Abangnya? Ibu kira disuruh sama guru. Abang siapa?"
"Ibu jangan tanya-tanya dulu, deh. Nanti abangnya keburu pergi."
Saya terpaksa tidak bertanya lagi walaupun masih penasaran. Ternyata yang dibawa oleh Hasna adalah selembar kertas foto copian bergambar seorang putri raja. Ia mewarnai gambar itu dengan terburu-buru dan langsung berlari kembali ke sekolah.
Saya mengikuti Hasna ke sekolah, kepingin tahu apa yang akan dilakukannya dengan gambar itu. Di luar pagar sekolah, ada banyak tukang jajanan. Selama bulan ramadhan, tidak ada yang berjualan makanan. Mereka telah digantikan oleh penjual aneka mainan murah seperti keong (kelomang) yang bisa berjalan lengkap dengan rumah keongnya (rumahnya ada ayunannya segala, emang siapa yang mau naik?). Ada juga penjual anak ayam dan anak bebek yang diwarnai dengan sepuhan, penjual sumpit dari bambu yang bisa ditiup, penjual balon kecil-kecil yang diisi air dan masih banyak lagi.
Di sebelah penjual balon isi air, ada seorang bapak tua yang duduk di atas tikar plastik, ke situlah tadi Hasna menyerahkan gambarnya. Bapak itu sedang dikerubungi oleh anak-anak yang berebut mengambil dan menyerahkan gambar. Ternyata anak-anak membeli gambar-gambar itu untuk diwarnai. Setelah diwarnai, harus diserahkan kembali kepada si bapak untuk dinilai
Nilainya ada yang 70, 80 dan 90 Setelah dinilai, anak-anak mendapat hadian sesuai nilai dari gambarnya. Setiap hadiah sudah dibungkus plastik kecil-kecil. Ada pinsil, penghapus, rautan dan penggaris. Ada juga jepitan rambut dan stiker tempel macam-macam gambar. Anak-anak menerima hadiah mereka dengan gembira sambil membanding-bandingkan dengan hadian teman-temannya. Dari semua penjual mainan, bapak itu yang paling ramai didatangi anak-anak.
Saya sungguh kagum. Kok bisa-bisanya bapak tua itu punya ide yang begitu cerdas untuk menjual dagangannya. Padahal hadiah yang diberikannya sangat murah tetapi anak-anak menerimanya dengan gembira karena gambar mereka dihargai, bukan sekedar membeli barang.
Komentar
Posting Komentar