Cerpen

Sepi Hati Wanita Kedua

.

Pernahkah kalian melakukan suatu kesalahan sekaligus kebodohan yang mungkin akan kalian sesali seumur hidup? Kesalahan yang menjadi rahasia yang tidak akan pernah kalian ceritakan kepada siapa pun? Aku pernah.


Kalian pasti benci kepadaku jika rahasia ini kubuka. Bukan hanya benci, kalian akan mengutuk dan meludahiku jika bertemu. Suatu  saat di masa lalu, di usiaku yang masih dua puluh lima tahun, aku pernah menjadi orang ketiga dalam sebuah perkawinan.


Semua bermula ketika aku bekerja di sebuah perusahaan kontraktor. Tugasku adalah sebagai sekretaris dari Project Manager. Bosku seorang India bernama Raj. Perusahaan itu baru saja berdiri dan hanya ada sepuluh orang karyawan.  Tugasku lebih banyak mendampingi Raj saat mewawancarai karyawan-karyawan yang akan direkrut. Dengan berbekal kemampuan berbahasa Inggris seadanya, 

aku bisa menjadi jembatan antara Raj yang hanya bisa berbahasa Inggris dengan para calon karyawan.


Karyawan-karyawan baru bermunculan, jumlah kami sudah menjadi dua puluh orang. Aku sangat senang bekerja di sana, karena hanya ada dua pegawai wanita termasuk aku. Sebagai kaum minoritas, kami berdua cukup dimanjakan oleh teman-teman lelaki, hampir setiap hari ada saja yang mentraktir makan siang atau membelikan jajanan.


Di perusahaan kontraktor ada tiga tingkatan karyawan. Ada engineer, ada designer dan ada pula drafter. Engineer memberi pekerjaan kepada designer dan designer memberi pekerjaan kepada drafter. Aku bekerja di sebuah ruangan besar bersama dengan karyawan-karyawan lain. Kami selalu kompak dan akrab.


Saat sedang mengetik sebuah surat di komputer, aku melihat Raj sedang mewawancarai seorang calon karyawan laki-laki di dalam ruangannya yang berdinding kaca tembus pandang. Jika sepanjang wawancara Raj tidak menyuruh aku masuk ke ruangannya, berarti calon karyawan itu fasih berbahasa Inggris sehingga wawancara berlangsung lancar.


Seminggu kemudian, karyawan baru itu mulai bekerja. Dia adalah seorang engineer bernama Pandu, berusia 37 tahun dan sudah menikah dengan dua orang anak. Ia tidak terlalu tampan tetapi  mempunyai tubuh yang tinggi dan tegap dengan bahu lebar. Wajahnya berbentuk segi empat dengan alis tebal dan mata bulat yang selalu bersorot ramah.


Saat itu aku sedang tidak mempunyai seorang teman yang spesial. Di kantor itu, banyak karyawan laki-laki yang masih bujang dan lebih tampan dari Pandu. Beberapa dari mereka kelihatan mencoba mendekatiku untuk membuat hubungan khusus.


Aku dan Pandu sering makan siang bersama teman-teman lain. Ia sering mengajariku tentang cara menangani pekerjaan di kantor. Tentu saja aku sangat senang karena itu adalah pengalaman pertamaku bekerja setelah selesai kuliah. Lama-kelamaan, hubungan kami semakin akrab. Ia sering mengajakku pulang bersama dengan mobilnya karena letak rumah kami searah. 


Entah apa yang ada dalam pikiranku sehingga membiarkan diriku terhanyut oleh pesona Pandu. Setiap hari aku sangat bersemangat untuk berangkat ke kantor. Melihatnya berjalan memasuki ruang kerja kami membuat hatiku berdesir. Mendengar suaranya saat mengobrol akrab  dengan Ratih, satu-satunya teman wanitaku di kantor, membuatku terbakar cemburu. Jika sehari saja ia tidak masuk kerja, aku akan sangat gelisah dan semua yang kukerjakan jadi serba salah.


Aku bukanlah gadis polos yang belum pernah berpacaran. Dengan mudah aku berganti kekasih saat masih di SMA dan kuliah. Aku mewarisi kulit putih dan wajah cantik dan ayu khas wanita Jawa dari ibuku dan tubuh tinggi dari ayahku. Entah mengapa, saat bersama Pandu, aku merasa seperti seorang gadis remaja yang baru pertama kali jatuh cinta.


Bersama Pandu segalanya terasa begitu indah. Ia adalah seorang lelaki yang tahu apa yang diinginkannya dan bagaimana cara mendapatkannya. Ia juga cerdas, humoris, dan tidak membosankan. Ia bisa membuat seorang wanita merasa sangat spesial saat bersamanya. 


Pertama kali kami makan siang berdua di sebuah restoran mewah, Pandu mengitari separuh mobilnya untuk membukakan pintu untukku. Di dalam restoran, dengan sigap ia menarikkan kursi untuk tempat dudukku. Seorang pelayan datang menanyakan pilihan makanan yang kami inginkan. Alih-alih langsung menjawab, Pandu menatapku lekat-lekat sambil berkata, "Samain aja sama yang kamu pesan."  Bagiku yang sedang dimabuk cinta, ucapan seperti itu saja sudah membuat perasaanku berbunga-bunga


Seringkali saat aku berangkat kerja, mobil Pandu sudah menungguku di ujung jalan dekat rumahku. Tidak dihiraukannya protesku untuk melarangnya menjemputku. Tidak seperti banyak lelaki beristri yang bersikap menyebalkan dengan mengaku bujangan, Pandu berterus terang tentang statusnya sejak pertama kami berkenalan.


Pandu sangat berbeda dengan semua teman lelaki yang pernah menjadi kekasihku. Ia tidak pernah membiarkanku membayar makanan saat kami makan bersama, tidak pernah bersikap mau menang sendiri saat kami berdebat, dan selalu meminta maaf jika melakukan kesalahan. 


Saat hubungan kami semakin dekat, entah kenapa aku merasa sangat iri dengan istrinya. Ia bisa memiliki Pandu selama dua puluh empat jam sehari, tidak seperti aku yang hanya bisa mencuri waktu saat makan siang atau pulang dari bekerja. Hari Sabtu dan Minggu Pandu selalu bersama keluarganya, tidak pernah sekali pun dihabiskannya denganku. Aku sering membayangkan bagaimana rasanya menjadi istri Pandu. Aku pernah melihat Pandu datang dengan istrinya ke suatu acara perkawinan teman sekantor kami. Ia memperkenalkan istrinya, Raisa, kepadaku. Raisa berwajah cantik dan bertubuh tinggi langsing. Ia bekerja sebagai seorang pengacara. Sepulang dari pesta itu, aku tidak bisa memejamkan mata sampai berjam-jam. Hatiku panas terbakar cemburu melihat Pandu merangkul istrinya dengan mesra di acara itu.


Kadang-kadang aku mengajak Pandu menonton film sepulang kerja sampai larut malam. Rasanya puas sekali bisa menguasai Pandu hanya untukku dan membayangkan istri Pandu yang menunggunya dengan gelisah di ranjang dingin di rumah mereka. Pernah juga saat ia harus mengantarkan istrinya ke sebuah acara, kugagalkan dengan cara mengajak Pandu ke sebuah tempat wisata di luar kota.


Entah setan mana yang merasukiku, aku semakin terbuai dan terseret semakin dalam ke dalam hubungan terlarang dengan Pandu. Seringkali kami mencuri waktu setelah makan siang ataupun saat pulang kantor dan pergi ke tempat-tempat yang cuma bisa kami nikmati berdua. 


Apa yang kami lakukan di tempat-tempat seperti itu? Tentu bukan sekadar berpegangan tangan. Kami melakukan semua yang tidak dapat kami kami lakukan saat bersama dengan teman-teman lain. Pada saat-saat yang sangat kritis, wajah ayah dan ibuku sempat terlintas. Saat itu, Pandu menuruti permintaanku agar kami tidak melakukan hal yang satu itu.


Tentu saja aku sadar bahwa yang kulakukan adalah salah tapi aku bisa apa? Setiap hari melihat wajahnya dan menikmati perlakuan spesialnya membuatku merasa menjadi wanita sesungguhnya. Lagi pula, kami cukup rapi menyimpan hubungan sehingga istri Pandu tidak pernah tahu. Bukankah yang tidak diketahuinya tidak akan menyakitkan hatinya?


Aku juga tidak peduli apa yang menyebabkan Pandu mau menjalin hubungan denganku. Ia tidak pernah bercerita satu kata pun tentang hubungannya dengan istrinya. Ia juga tidak pernah mencela atau menjelek-jelekkan istrinya di depanku.


Bagi kedua anaknya, ia adalah seorang ayah yang baik. Ia sering menceritakan segala hal tentang anak-anaknya. Hari ini Dafa menang lomba melukis, kemarin Sherin terpilih menjadi peserta olimpiade matematika, dan masih banyak cerita lainnya. Ia menceritakannya dengan mata berbinar-binar, penuh dengan kebanggaan seorang ayah. Saat itu rasanya aku sangat iri. 


Hubungan terlarangku dengan Pandu sudah berjalan hampir setahun. Teman-teman dekatku yang sering mendengar ceritaku tentang Pandu kerap memperingatkanku untuk tidak melanjutkan hubungan dengan Pandu. "Dia nggak bakalan mau ninggalin istrinya untuk menikah sama kamu," ujar Tyas, salah satu sahabatku sejak SMA. 


Tentu saja nasihat itu tidak kuhiraukan. Aku juga cukup tahu diri untuk tidak mengharapkan agar Pandu mau menikah denganku. Jauh di lubuk hati, aku merasa bersalah telah menyita banyak waktu Pandu yang seharusnya ia habiskan bersama keluarganya. Aku terjebak dalam hubungan cinta terlarang yang sangat memabukkan.


Adalah sahabatku Tyas juga yang akhirnya bisa membuatku berpikir untuk menjauhi Pandu. Tidak berhasil dengan nasihat-nasihatnya, Tyas mengajakku untuk menghadiri ceramah-ceramah agama di berbagai masjid. Ucapan seorang ustaz tentang balasan atas segala perbuatan yang kita lakukan menghempaskanku ke dalam jurang kesadaran.


Bagaimana jika tiba saat pembalasan atas segala perbuatan yang kulakukan dengan Pandu? Bagaimana jika nantinya aku mempunyai suami yang berselingkuh berulang kali? Bukankah menurut ustaz yang kudengar ceramahnya, balasan atas perbuatan kita bisa berlipat ganda?


Aku mulai mencoba untuk perlahan-lahan menjauhi Pandu. Hal yang sungguh sulit bagiku. Memandang wajahnya, menikmati senyumnya, sorot matanya yang hangat ketika menatapku, dan tatapannya yang terlihat sangat sedih ketika aku terus-menerus menghindarinya. Rasanya aku tak sanggup lagi. Mungkin aku harus mencari pekerjaan lain agar bisa menghilang dari kehidupan Pandu selamanya.


Selagi aku berusaha menjauhi Pandu, yang rasa-rasanya tidak akan berhasil, sebuah kenyataan menghantamku. Seorang kurir mengantar sebuah amplop cokelat besar ke kantor saat aku sedang bekerja. Hanya amplop biasa seperti dokumen yang sering kuterima. Tanpa curiga, kusobek amplop itu dan kutarik lembaran-lembaran kertas di dalamnya.  Jantungku hampir melompat ke luar ketika melihat gambar di kertas-kertas itu. 


Tercetak jelas di setiap lembaran kertas mengilap berukuran 10R itu, foto-foto aku dan Pandu di berbagai tempat dalam berbagai posisi yang pasti akan membuat pingsan ayah dan ibuku jika melihatnya.  Mulai dari foto kami saat sedang memasuki kamar hotel, beradegan mesra saat berenang di sebuah hotel dengan kolam renang pribadi di malam hari, sampai foto saat kami memadu kasih di sebuah pantai yang sepi dan tersembunyi.


Dengan tubuh bergetar, aku melangkah dengan limbung dan duduk sebelum tubuhku rubuh ke lantai. Kurasakan jantungku berdetak sangat kuat seperti sedang melihat hantu. Aku bergidik. Kulanjutkan melihat seluruh lembaran foto itu.


Saat kubalik sebuah foto di lembaran terakhir, kulihat ada tulisan.


"Silakan menikmati hasil perbuatan kalian. Jika kaukira aku tidak tahu dan hanya diam melihat hubunganmu dengan Mas Pandu, kau salah besar. Aku hanya menunggu saat yang tepat untuk bertindak. Detik ini juga, tinggalkan suamiku atau kusebarkan foto-foto kalian yang menjikkan itu kepada orang tua, atasanmu di kantor, dan semua orang terdekatmu.  Secepat mungkin kau harus keluar dari kantor itu dan jangan pernah hubungi  Mas Pandu lagi. Jika tidak kau hiraukan peringatanku, aku tidak segan untuk bertindak kasar dan aku tidak peduli walaupun harus masuk penjara."


Di bawah tulisan itu, Raisa menorehkan namanya dengan lipstik berwarna merah darah. Napasku sesak dan tubuhku semakin lemas. Terbayang apa yang akan menimpaku jika foto-foto itu sampai tersebar. Tanganku masih gemetar saat mulai mengetik surat pengunduran diri.



Komentar

  1. Ceritanya baguuuus mba 👍. Terasa emosinya saat membaca part si pelakor 😅. Gemes2 gimanaaa 🤭. Tapi endingnya pasti membuat bahagia hahahaha. Ga nyangka si istri tahu Yaa. 😁

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, diem-diem si istri memantau dan merancang balas dendam. Makasih Mbak udah mampir baca.

      Hapus
  2. menarik, suak bikin cerpen juga ya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih udah mampir, Mbak. Iya, saya suka bikin cerpen juga, tapi yang drama-drama aja..😊😊

      Hapus

Posting Komentar