Sebuah Pembalasan

(Another Version of Layangan Putus)


.

Kalau ada yang bertanya kepadaku apakah aku pernah punya seseorang yang begitu kubenci sehingga kuanggap sebagai musuh? Jawabannya ada. Tentu saja aku punya alasan kuat untuk membencinya, sangat kuat malah. Ia adalah seseorang yang tidak pernah kubayangkan akan hadir dalam hidup perkawinanku.

Kalau ada satu laki-laki terakhir di dunia ini yang berselingkuh, mungkin orang itu adalah Mas Ihsan, suamiku. Bagaimana tidak ? Ia orang yang sangat taat beragama. Setiap tiba waktu salat, di mana pun berada, ia akan selalu pergi ke masjid atau musala terdekat. Pekerjaan atau kegiatan apa pun akan langsung ditinggalkannya.

Ia juga bukan orang yang akan dipilih sebagai target oleh para wanita penggoda. Penampilannya biasa-biasa saja dengan kulit gelap, tubuh tidak terlalu tinggi dan wajah berbentuk persegi dengan mata agak sipit. Ia juga tidak kaya, penghasilannya sebagai seorang instruktur di ruang gym, tenis dan renang di sebuah pusat kebugaran tidak terlalu besar. Kendaraan yang dipakainya setiap hari hanya sebuah sepeda motor keluaran lima tahun yang lalu.

Selama sebelas tahun perkawinan kami sampai mempunyai dua anak perempuan, tidak pernah ada masalah besar. Pertengkaran pastilah ada, tapi biasanya hanya masalah anak-anak atau masalah-masalah kecil lainnya.  Mas Ihsan juga seorang suami yang jujur dan selalu menceritakan apa yang dialami atau dilakukannya. Ia seperti sebuah buku yang terbuka, setiap orang bisa membaca isinya.

Dengan suami seperti dia,  seharusnya rumah tangga kami akan aman- aman saja. Aku juga bekerja sebagai seorang sekretaris di sebuah perusahaan, sehingga hidup kami tidak kekurangan. Aku bersyukur telah menuruti nasihat ibuku untuk tidak memilih suami  yang terlalu tampan atau kaya, agar rumah tanggaku jauh dari godaan.

Memasuki usia perkawinan yang kedua belas, badai menerjang kehidupan kami. Mungkin salahku juga yang terlalu menganggap remeh suamiku. Berpikir bahwa laki-laki sebaik, sealim, dan se "biasa" dia tidak akan berselingkuh. Seperti peribahasa tak ada gading yang tak retak, Mas Ihsan juga bukan manusia sempurna. Siapa yang menyangka bahwa sifatnya yang terlalu baik dan peduli kepada orang lain bisa disalahartikan oleh seseorang?

Suatu malam saat sedang di rumah, Mas Ihsan baru akan berangkat ke masjid. Tiba-tiba ponselnya berdering. Anehnya,  setelah melihat ke layar ponselnya, ia langsung menerima panggilan itu dan berbicara di teras rumah.   Biasanya kalau sudah akan ke masjid, apa pun tidak bisa menahannya.

Mas Ihsan hanya berbicara sebentar saja di ponselnya lalu berangkat ke masjid. Aku pun sibuk di dapur menyiapkan makanan untuk bekal anak-anak ke sekolah besok pagi sehingga tidak ingat lagi untuk bertanya. Saat kami duduk menonton televisi setelah makan malam, ponsel Mas Ihsan  berdering lagi. Ia mengambilnya lalu masuk ke kamar dan menutup pintu.

Aku semakin heran. Bicara dengan siapa sih dia sampai perlu masuk ke kamar?  Apakah sama dengan orang yang tadi menelepon sebelum ia ke masjid? Ia berada di kamar cukup lama. Begitu ia keluar, aku langsung bertanya, "Dari siapa sih Mas sampai harus bicara di kamar?"

"Oh ... itu salah satu member di tempat kerjaku. Namanya Dian. Dia berlatih tenis denganku.

"Untuk apa dia meneleponmu? Apalagi sudah malam begini," tanyaku.

"Dia cuma mau merubah jadwal latihan tenis untuk besok. Dia juga cerita soal anaknya yang hampir tertabrak mobil saat menyeberang jalan di depan sekolah. Untung sopir mobilnya masih sempat menginjak rem," jelas Mas Ihsan.

"Aneh. Tidak biasanya ada member di tempat kerjamu yang meneleponmu malam-malam begini. Memang dia dekat denganmu?" tanyaku penasaran.

"Hampir semua member memang dekat denganku. Aku kan mengajari mereka di ruang gym, tenis, dan renang. Kalau aku tidak akrab dengan semua member, bisa-bisa mereka kabur ke tempat lain," kilahnya.

"Aku tahu, Mas, tapi kan tidak ada yang meneleponmu malam-malam dan cerita tentang anak segala macam. Kalian berbicara lama sekali. Memang siapa sih dia?" aku masih penasaran.

"Dia member biasa. Sudah beberapa bulan ini aku mengajarinya bermain tenis. Dia dan suaminya, Ferry Hendrawan,  punya sebuah kantor pengacara. Oh ya, kantor mereka ada di gedung yang sama dengan tempat kau bekerja. Mereka di lantai tiga."

"Oh, kantor pengacara Ferry Hendrawan yang di lantai tiga itu? Keren juga ya mereka bisa berkantor disana. Setahu aku biaya sewa kantor di gedung itu  sangat mahal."

"Begitu ya? Mungkin juga sih. Aku tidak tahu." Mas Ihsan mengangkat bahu.

Pembicaraan malam itu tidak berlanjut. Yang penting aku sudah tahu siapa perempuan yang menelepon Mas Ihsan. Tidak boleh kelihatan terlalu mendesaknya. Di dalam hatiku, ada sedikit rasa curiga. Kecurigaannya pertama setelah dua belas tahun bersama.

Hari-hari berikutnya nama Dian lebih sering lagi kudengar dari mulut Mas Ihsan. Ada-ada saja yang diceritakannya. Dian itu lebih muda lima tahun dariku, Dian begini, Dian begitu. Ini kue bikinan Dian, dan masih banyak cerita lain. Puncaknya adalah malam kemarin. Mas Ihsan membawa pulang sebuah raket tenis baru yang kutahu harganya sangat mahal.

"Wah, raket baru nih! Dapat dari kantor, Mas?" tanyaku.

"Bukan. Ini dari Dian. Katanya dia sudah tidak mau pakai lagi."

"Tidak mau pakai lagi?  Jangan bohong, Mas. Ini raket baru, bukan bekas pakai. Kau pikir aku tidak tahu bedanya?" bantahku.

"Aku tidak bohong. Dian yang bilang begitu." Mas Ihsan tidak mau kalah.

"Dia pasti sengaja membelikannya untukmu, Mas. Ya Allah ... sebenarnya ada apa sih diantara kalian?" Aku sudah hampir menangis.

Malam itu kami bertengkar. Yang paling hebat selama perkawinan kami.  Didesak bagaimana pun, Mas Ihsan tetap bertahan dan mengaku tidak ada hubungan khusus dengan Dian. Setelah berhari-hari bertengkar tanpa hasil, aku mencari jalan lain.

Aku kenal dengan Prita, resepsionis di tempat Mas Ihsan bekerja. Dia gadis yang manis dan ramah. Kadang-kadang aku ke kantor Mas Ihsan untuk pulang bersama dan mengobrol dengan Prita sambil menunggu. Aku berusaha untuk lebih akrab dengan Prita dan membawakannya banyak makanan saat datang ke sana. Tak perlu waktu lama, mengalirlah cerita dari mulut gadis itu.

Tentu saja aku tidak mau membuat Prita curiga. Aku berpura-pura kenal dengan seorang member bernama Dian yang kuakui sebagai teman sekolahku dulu. Dari cerita Prita kuketahui bahwa Dian berlatih tenis dengan Mas Ihsan tiga kali seminggu. Dian juga sering mengobrol dengan Mah Ihsan di lapangan setelah bermain tenis atau pun di ruang kerja Mas Ihsan di sebelah ruang gym.

Mendengar cerita dari Prita, bangku yang kududuki terasa panas. Di rumah, kucoba lagi untuk bertanya  kepada Mas Ihsan tentang hubungannya dengan Dian. Sudah kususun kalimat-kalimat terbaik untuk bertanya dan kucoba untuk bersikap setenang mungkin. Kenyataannya, aku tidak bisa menahan emosi. Ketika kudesak berkali-kali dan Mas Ihsan akhirnya mengakui bahwa ia dan Dian memang punya hubungan khusus, aku menangis sepanjang malam.

Cerita selanjutnya yang kudapat dari Mas Ihsan lebih menyakitkan lagi. Semula Dian hanya minta diajari bermain tenis. Latihan sudah berjalan rutin selama dua bulan. Seusai latihan, mereka duduk di kursi di pinggir lapangan sambil melepas lelah. Pada saat-saat itulah Dian sering bercerita kepada Mas Ihsan bahwa rumah tangganya tidak bahagia.

Walaupun ia dan suaminya bekerja dalam satu kantor, suaminya sering meremehkannya. Suaminya yang merupakan anak tunggal dari orang tua yang kaya raya sering bersikap egois dan kekanak-kanakan. Seringkali sepulang dari kantor, suaminya itu pergi bersama teman-temannya entah ke mana dan baru pulang pada dini hari.

Semua urusan rumah dan kedua anak balita mereka menjadi tanggung jawab Dian. Suaminya hanya mau menangani urusan klien-kliennya di kantor. Itu pun kalau sudah dijemput oleh teman-temannya, ia akan pergi begitu saja. Tinggallah Dian yang mengurus semua pegawai dan juga klien yang datang.

Setiap kali Dian bercerita, Mas Ihsan selalu mendengarkan. Ia memang orang yang selalu tidak tega dan ingin membantu jika ada orang yang kesusahan. Rupanya Dian menanggapinya dengan berbeda. Perempuan frustrasi yang sedang tertekan dengan keadaan rumah tangganya itu seperti menemukan oase yang menyejukkan setiap bercerita kepada Mas Ihsan.

Lama-kelamaan, sesi curhat Dian tidak cukup hanya di lapangan tenis. Ia juga suka mengajak  Mas Ihsan makan siang di luar atau mereka mengobrol di ruang kerja Mas Ihsan yang tertutup. Di dalam ruangan seperti itu, semua kemungkinan bisa terjadi. Seorang wanita yang haus akan perhatian dan seorang lelaki yang merasa sangat dibutuhkan.

Kelanjutannya sudah bisa ditebak. Mereka duduk berdekatan, berpelukan, berciuman dan sesekali saling meraba. Ingin muntah aku mendengarnya. Padahal aku sendiri yang mendesak Mas Ihsan untuk menceritakan dengan rinci apa yang telah mereka lakukan.

Setelah malam pengakuan itu, hidupku sungguh berubah. Aku merasa suamiku sudah menjadi mahluk asing yang tidak kukenal. Perempuan bernama Dian itu secara otomatis sudah kuanggap sebagai musuh besarku. Dia pasti tertawa di belakangku seperti kuntilanak.

Beginikah rasanya menjadi istri yang dikhianati suami? Pantas saja ada yang sampai bunuh diri. Aku menangis berhari-hari. Berangkat kerja dengan tidak semangat dan kehilangan nafsu makan. Belum sampai dua minggu, berat badanku sudah turun lima kilogram.

Memang pekerjaanku di sebuah perusahaan asing membuatku sering lembur dan sampai di rumah pada malam hari. Tidak kusangka Mas Ihsan memanfaatkannya dengan berselingkuh di belakangku. Malam itu ia sudah langsung meminta maaf padaku berulang kali. Baru kali itu kulihat ia menangis.

Setelah pertengkaran hebat kami, Mas Ihsan langsung berhenti melatih Dian bermain tenis. Ia sudah bercerita kepada Dian tentang semua pembicaraan kami dan meminta Dian untuk memutuskan hubungan mereka.

‌Tak kuduga, Dian meneleponku dan meminta maaf. Ia mengatakan bahwa ia tidak akan menemui Mas Ihsan lagi. Ia juga mengatakan bahwa ia sangat mencintai Mas Ihsan dan akan sangat berat baginya untuk menjauhi suamiku itu. Kurang ajar! Teganya ia bicara seperti itu kepadaku.

Mas Ihsan menepati janjinya. Ia tidak pernah berhubungan lagi dengan Dian. Perempuan itu juga sudah berhenti menjadi member di tempat Mas Ihsan bekerja. Seharusnya persoalan sudah selesai dan hidup berjalan seperti biasa. Tapi, kenapa aku tidak merasa lega? Kenapa hatiku belum puas? Enak saja perempuan itu melenggang pergi dari kehidupan kami dan meninggalkan goresan dalam di hatiku. Ini tidak bisa dibiarkan. Aku harus melakukan sesuatu.

Beberapa malam setelah itu aku tidak bisa tidur. Beban yang kurasakan terlalu berat sehingga tubuhku tidak kuat menanggungnya. Aku juga sering melamun dan marah-marah karena hal-hal sepele. Saat memikirkan jalan keluar dari masalahku, sebuah gagasan melintas. Kuambil pulpen dan kertas dan aku mulai menulis surat.

Kepada Yth,
Bapak Ferry Hendrawan, SH
Kantor Pengacara Ferry Hendrawan & Partner

Dengan hormat,

Sebelum Bapak membaca seluruh isi surat ini, saya ingin memperkenalkan diri. Saya adakah Wiranti, dan saya bekerja di PT. United Tractor, di lantai sepuluh gedung Arcadia, hanya beda lantai dengan dengan kantor Bapak. Sebelum Bapak semakin heran karena tidak pernah mengenal saya, akan saya ceritakan kenapa saya menulis surat ini.

Saya tidak tahu apakah Bapak mengetahui bahwa selama ini istri bapak, Dian, menjalin hubungan dengan Mas Ihsan, suami saya. Dian berlatih tenis di Bodyfit Sport Centre dengan suami saya seminggu tiga kali. Suami saya bekerja di sana sebagai instruktur di ruang gym, tenis, dan renang.

Setiap selesai latihan, istri Bapak sering mengobrol dengan suami saya. Biasanya ia menceritakan tentang keadaan rumah tangganya yang tidak bahagia. Setelah beberapa bulan berlatih tenis, hubungan mereka semakin akrab. Pembicaraan berlanjut di ruang kerja suami saya, dan kadang-kadang mereka juga pergi bersama.

Dari cerita saya, apakah Bapak sudah bisa membayangkan apa yang kemudian terjadi? Setelah mengobrol akrab, mereka duduk berdekatan, berpelukan, berciuman, dan sesekali saling meraba.

Sebatas itulah hubungan mereka menurut keterangan dari suami saya. Benarkah hanya sejauh itu? Hanya mereka yang bisa menjawabnya. Saya mencoba untuk percaya dan menyingkirkan semua pikiran kotor bahwa hubungan mereka lebih dari itu.

Saat ini mereka sudah tidak berhubungan lagi. Suami saya sudah langsung memutuskan hubungannya dengan istri Bapak ketika saya mengetahuinya. Saya menceritakan semua itu kepada Bapak untuk sedikit meringankan beban saya.

Sejak mendengar pengakuan dari suami saya, kehidupan rumah tangga kami tidak lagi sama. Kami seperti dua orang asing yang tidak saling mengenal dan dipaksa untuk tinggal dalam satu rumah. Saya berpura-pura bersikap manis agar kedua putri kami tidak tahu apa yang sudah terjadi. Saya tidak ingin merusak kesan baik terhadap ayah tercinta mereka.

Saya ingin agar Bapak tahu apa yang telah dilakukan oleh istri Bapak, agar ia juga bisa merasakan bagaimana hidup dalam rumah tangga setelah adanya perselingkuhan. Tidak adil jika hanya saya yang merasakannya.

Saya harap agar Bapak tidak membalas surat saya ini karena saya tidak membutuhkan balasan. Saya juga sudah siap dengan segala risiko yang timbul sebagai akibat dari adanya surat ini. Cobaan terberat dalam perkawinan saya sudah terlanjur terjadi, maka tidak ada lagi yang perlu saya takutkan.

Kumasukkan surat itu ke dalam amplop cokrlat, kuketik nama dan alamat surat di bagian depan, lengkap dengan tulisan, "Private & Confidential" agar tidak ada orang selain Ferry yang berani membukanya. Aku berharap agar surat itu benar-benar sampai ke tangan Ferry dan tidak dibuka oleh Dian.

Kuminta Maman, pesuruh di kantorku untuk mengantarkan surat itu ke lantai tiga. Tidak ada lagi yang bisa kulakukan. Hanya berdoa, dengan rida Allah, semoga surat itu sampai dengan selamat ke tujuan.

Seminggu kemudian saat aku sedang di kantor, ponselku berdering. Setelah kuambil, terdengar suara Dian. Ia langsung berbicara, "Mas Ferry sudah membaca surat dari Mbak Wiranti. Dia marah sekali. Kami bertengkar hebat berhari-hari.  Dia tidak mau mendengar penjelasan apa-apa dariku. Pagi ini dia akan mengajukan gugatan. Dlam waktu dekat kami akan bercerai. Semoga Mbak puas." Ia langsung menutup teleponnya tanpa menunggu jawaban dariku.

Aku menghela nafas. Perempuan itu harus merasakan akibat dari perbuatannya. Jangan hanya aku yang merasakan penderitaan panjang akibat perselingkuhan suamiku. Sebuah noda dalam perkawinan yang tidak akan bisa kulupakan seumur hidup.


Komentar

  1. wah memang berlawanan dengan layangang putus dimana perempuannya hanya diam saja ya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, bener. Yang penting udah balas dendam, daripada cuman ngebatin. Makasih Mbak udah mampir baca.

      Hapus
  2. kalau endingnya begini aku ikutan puas
    selama membaca ini, gregetennn banget

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, harus dibales biar dia ngerasain juga akibat selingkuhnya itu. Makasih Mbak udah mau baca.

      Hapus

Posting Komentar